Kamis, 03 Maret 2022

Xylocarpus granatum as a powder with high SPF

Xylocarpus granatum, commonly known as Nyiri, is a medium-sized evergreen or deciduous tree 22 m high and 1 m in diameter. You may also find trees with buttress roots. The root system is often found in the form of the surface of respiratory roots or ribbon-shaped roots. The bark is cracked or scaly. The plant even has feather-like compound leaves, and the mother sits on alternating stems (alternates). 

There are 23 pairs of leaves. The leaflet is oval or oval (breech), 417 cm long, and 29 cm wide. Capsicum, smooth wood, up to 25 cm in diameter, contains 6-18 seeds. The seeds are rectangular, up to 6 cm long, brown. The Xylocarpus granatum grows in tidal riverbanks, mangrove linings, and other brackish water environments that are not too salty. Often grow in large groups. In Indonesia, it is distributed in Java, Madura, Bali, Karim Java Islands, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Marc, Sumba and Irian Jaya. 




This plant is commonly used as a building material for boats due to its small size, and the bark is collected due to its high tannin content. These tannins are commonly used as preservatives such as nets, adhesives, and textile dyes. It turns out that this kind of mangrove has other uses as well. A study conducted by IPB researcher Linawati Hardjito demonstrates the benefits of mangrove seeds in protecting human skin from sunburn. 

The use of mangrove seeds as sunscreen has been practiced by the Bugis people for many years. South Sulawesi, the Bugis people who use mangrove seeds to protect their skin from sunburn, is not alone. In the Ternate community, mangrove seeds are used as an extract to prevent cervical cancer. Mangrove Fruit Mangrove seeds contain antioxidants and active ingredients to protect the skin from UV rays. Flavonoid and tannin content can prevent skin cancer caused by frequent exposure to the sun. 

Mangrove seeds are processed into extracts and other additives used as sunscreen creams. Mangrove seed extract contains sunscreen filter (SPF) 22. On the other hand, the minimum SPF of the Indonesian National Standard (SNI) for sunscreen is 15. Therefore, sunscreen made from mangrove is more than enough to protect the skin from sunburn. Sunscreen cream is skin-like in color and contains no preservatives. It smells like a mangrove. The seed extract also contains polar and non-polar components, so it can be used daily or during swimming.

Sabtu, 05 Februari 2022

Menentukan variabel yang berpengaruh menggunakan Principal of Component Analysis (PCA)

Pada berbagai riset di bidang perikanan dan kelautan, kadang peneliti dihadapkan dengan situasi dimana data pengukuran kualitas perairan yang telah diambil sangat banyak namun kesulitan untuk menentukan parameter atau variabel mana yang paling mempengaruhi kondisi lingkungan/sampel dari fenomena riset yang ditemui. Salah satu tools yang mudah dan dapat diaplikasikan ke dalam riset tersebut adalah menggunakan metode Principal of Component Analysis (PCA).

PCA atau dalam bahasa indonesia disebut sebagai analisis komponen utama, merupakan suatu metode dalam statistika yang dapat digunakan untuk menyederhanakan data dengan mentransformasikannya secara linier membentuk sistem koordinat dimana masing-masing kuadran memiliki varians yang spesifik. Di dalam metode PCA, data dibagi menjadi beberapa kluster untuk memudahkan interpretasi hasil, yang secara umum teknik ini mirip sekali dengan teknik clustering. Kelebihan lain dari metode PCA adalah tidak memerlukan dependent variables, sehingga interpretasi yang diberikan mirip dengan teknik clustering K-means menggunakan pendekatan unsupervised learning.

Secara umum, PCA memberikan hasil akhir yaitu dapat mengetahui dan menganalisis faktor mana yang paling berperan untuk menjelaskan fenomena dalam dataset dengan tetap menjaga sifat-sifat data (variansi maksimum).

Beberapa aplikasi yang dapat digunakan untuk menggunakan pendekatan metode ini diantaranya adalah SPSS, MiniTab, MS Excel dan XLSTAT. Meskipun memiliki tampilan yang berbeda-beda, pada umumnya akan memiliki hasil pembacaan yang sama; yaitu data yang berada di dalam satu kuadran memiliki karakteristik yang sama, sehingga data tersebut merupakan data yang paling mempengaruhi kondisi fenomena yang diteliti. 

Sebagai contoh, kita misalkan seorang peneliti ingin mengetahui perbedaan karakteristik kepiting yang dibudidayakan di area pesisir (A), tambak darat dekat pesisir (B), muara (C), hingga laut lepas (D). Data yang diambil adalah sebagai berikut:


Data yang diambil masing-masing dua data panjang kepiting di 4 lokasi penelitian, dengan 5 pengukuran kualitas perairan. Selanjutnya, peneliti ingin mengetahui faktor kualitas perairan apa yang paling berpengaruh terhadap perbedaan panjang kepiting di berbagai lokasi tersebut.



Analisis PCA mengelompokkan pH dan suhu ke dalam satu kuadran, DO dan salinitas ke dalam kuadran panjang kepiting, serta TSS sebagai variabel yang tidak berkaitan dengan variabel-variabel lainnya. Sehingga, secara umum, menurut analisis PCA, perbedaan panjang kepiting, sangat dipengaruhi oleh kadar DO dan salinitas yang tersedia di perairan tersebut.

Adakah terumbu karang hidup di KEE Mangrove Ujungpangkah Gresik??? Studi kasus menggunakan pendekatan inderaja

Suatu ketika saya terlibat dalam kegiatan yang memerlukan analisis lokasi secara menyeluruh di area yang saat ini ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Essensial (KEE), tepatnya di Kecamatan Ujungpangkah Kabupaten Gresik Jawa Timur. Area yang dilindungi mencakup tiga desa di kecamatan tersebut, meliputi Desa Banyuurip, Desa Pangkahwetan, serta Desa Pangkahkulon. Berbagai flora dan fauna yang spesifik menghuni area tersebut. Adanya burung-burung migrasi, mangrove, kepiting, kerang-kerangan, blodok, dsb; dimana area tersebut berdampingan erat dengan area kerja mayoritas penduduk disana, yaitu pembudidaya dan penangkapan produk perikanan.

Dikarenakan perlunya mengambil kesimpulan secara menyeluruh terhadap kondisi perairan disana, maka dicobalah untuk menganalisis melalui pendekatan penginderaan jauh. Citra satelit yang digunakan adalah Landsat dan MODIS. Peta yang kami gunakan adalah peta KEE MUP Gresik (Data tidak dilampirkan).

Beberapa hasil analisis (Kandungan klorofil-A dan suhu permukaan laut/SPL) dapat dilihat pada gambar-gambar berikut ini.





Kadar klorofil-A pada Bulan Januari-Maret 2021 berkisar antara 4-9 mg/L dengan suhu permukaan laut 30-36C. Kondisi ini mengikuti arah pergerakan angin pasat barat yang bergerak dari arah barat ke timur perairan Laut Jawa. Hasil analisis kualitas perairan secara keseluruhan tidak saya bahas disini.

Satu hal yang menarik adalah saat saya mencoba mengamati keberadaan terumbu karang di KEE MUP menggunakan data landsat Oktober 2020. Data menunjukkan terumbu karang tersebar merata di area Pangkah, padahal area tersebut memiliki tingkat sedimentasi yang cukup tinggi dari muara, yang secara umum tidak cocok untuk menjadi habitat terumbu karang. Selain itu, beberapa jenis ikan yang ditemukan bukan merupakan ikan-ikan spesifik penghuni terumbu karang.


Menurut data citra satelit, terumbu karang ini tersebar di area KEE barat dan timur. Akan tetapi, di lapangan, belum ada penelitian yang menunjukkan keberadaan terumbu karang di titik tersebut. Sudah dilakukan pula wawancara dengan penduduk sekitar meskipun dinyatakan di titik-titik tersebut diduga tidak ada terumbu karang. Saya juga sudah bertanya kepada beberapa peneliti dan pemerhati di bidang biologi laut & inderaja serta mendapatkan jawaban serupa, "Memangnya ada terumbu karang di Kec. Ujungpangkah Gresik?" 
Pendekatan ini saya coba ulangi dengan menggunakan variasi beberapa komposisi band dan hasil masih menunjukkan keberadaan terumbu karang di titik-titik tersebut. Memang, salah satu kelemahan dari citra ini adalah tidak dapat membedakan terumbu karang yang mati dan hidup. Dan hingga saat ditulisnya artikel ini, saya belum mengetahui adanya citra satelit yang bisa menandai dan membedakan lokasi terumbu karang mati dan hidup tanpa adanya ground checking ke lapangan. Meskipun, jika kita hubungkan dengan data klorofil-A dan SPL pada titik lokasi, seharusnya tidak cocok untuk habitat terumbu karang.




Hal yang menarik lagi adalah setelah ditelusuri menggunakan jalur darat, di salah satu area KEE terdapat hamparan terumbu karang yang kondisinya sudah mati. Namun, area tersebut justru tidak ditandai sebagai terumbu karang dalam citra satelit.


Agaknya, diduga ini adalah sedikit kekurangan dari citra satelit landsat ETM yang memberikan hasil bias antara terumbu karang dengan substrat keras non karang (Hickey dkk, 2020) sehingga perlu dilakukan reduksi data spasial di dalam pengolahan data citra (Gapper, 2019). Tetapi, overall memang inderaja hanyalah sebuah tools, bukan untuk menunjukkan hasil yang konkrit. Perlu dilakukan pengecekan secara in situ sebelum dipastikan data tersebut valid. Itulah pentingnya pengecekan secara langsung dan pendekatan inderaja dipadukan secara bersama untuk meneliti berbagai fenomena didalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang perikanan-kelautan. Kesimpulan lainnya, bisa pula metode ini tetap dilakukan namun menggunakan citra satelit lain yang memiliki ukuran piksel lebih tinggi dengan area luasan yang lebih spesifik untuk mengetahui kebenaran adanya terumbu karang di lokasi tersebut serta menggunakan data-data lain seperti kisaran kualitas air yang cocok untuk pertumbuhan terumbu karang atau data sekunder ikan-ikan yang ditemukan di area tersebut untuk memastikan keberadaan terumbu karang hasil citra satelit.


*Sengaja data inderaja terumbu karang, SPL, dan klorofil saya munculkan karena memang hanya sekadar asumsi dan opini, dikarenakan ketertarikan saya dalam mempelajari biologi kelautan dengan keterbatasan waktu dan tenaga untuk membuktikan fenomena ini. Saya merasa sayang sekali jika data-data yang sudah dibuat dan dianalisis ini dihapus dan dibuang begitu saja.

Referensi:
Hickey SM., dkk. 2020. Between a Reef and a hard Place: Capacity to Map the Next Coral Reef Catastrophe. Front. Mar. Sci. https://doi.org/10.3389/fmars.2020.544290
Gapper JJ. 2019. Bias Reduction in Machine Learning Classifiers for Spatiotemporal Analysis of Coral Reefs using Remote Sensing Images. Chapman University. https://digitalcommons.chapman.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1001&context=cads_dissertations

Manipulasi Hormon dan Transgenesis Pada Ikan

Manipulasi hormon dan transgenesis merupakan penerapan teknologi genetika dalam bidang akuakultur. Pada umumnya secara genetis jenis kelamin ikan sudah ditetapkan saat pembuahan. Namun gonad ikan yang baru menetas belum terdifferensiasi menjadi jantan atau betina sehingga proses differensiasi seks memungkinkan untuk dimanipulasi menggunakan kejutan suhu, penggunaan hormon, maupun faktor lingkungan yang lain. Tujuan manipulasi tersebut adalah untuk membudidayakan ikan berkelamin tunggal (monosex) agar pertumbuhan lebih cepat, mengontrol reproduksi dan mendapatkan penampilan yang lebih baik, serta menghindari kerusakan biodiversitas akibat ikan yang telah dimodifikasi (Zairin, 2003). Selain menggunakan teknik rekayasa kromosom menggunakan kejutan suhu seperti yang telah dibahas sebelumnya, penggunaan hormon secara langsung juga dapat digunakan untuk memanipulasi kelamin pada ikan. Hormon steroid dapat digunakan untuk memanipulasi proses diferensiasi gonad, gametogenesis, ciri-ciri kelamin sekunder, ovulasi dan spermiasi.

Teknik alih kelamin yang diterapkan di Indonesia terdiri dari jantanisasi (menghasilkan jantan) dan feminisasi (menghasilkan betina). Maskulinisasi dilakukan dengan pemberian hormon androgen 17α-methyltestosterone dan feminisasi dilakukan dengan pemberian hormon estrogen seperti 17β-estradiol.

Beberapa teknik pengalihan kelamin dapat dilakukan melalui: a. Pemberian pakan (oral), baik pencampuran pakan alami/buatan dengan hormon; b. Perendaman hormon (pada fase embrio, larva, dan induk), sehingga didapatkan keturunan ikan berkelamin tunggal.

Sementara itu, transgenik terdiri dari kata trans yang berarti pindah dan gen yang berarti pembawa sifat. Jadi, transgenik adalah memindahkan gen dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup lainnya. Prinsip dasar teknologi rekayasa ini ialah memanipulasi atau melakukan perubahan susunan asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA organisme penerima. Gen yang diselipkan serta organisme penerimanaya dapat berasal dari organisme apa saja. Misalnya gen fluorescent pada bakteri maupun ubur-ubur yang diselipkan pada kromosom ikan zebra (Danio rerio).

Makhluk hidup transgenik sering disebut sebagai GMOs (Genetically Modified Organisms) yang merupakan hasil rekayasa genetika. Transgenik terdiri dari kata trans yang berarti pindah dan gen yang berarti pembawa sifat. Teknik GMOs ini mengubah faktor keturunan untuk mendapatkan sifat baru. Teknik ini dikenal dengan rekayasa genetika atau teknologi plasmid. Pengubahan gen dilakukan dengan jalan menyisipkan gen lain ke dalam plasmid sehingga menghasilkan individu yang memiliki sifat tertentu sesuai dengan keinginan.



Gambar 1. Prinsip transgenik pada ikan
(Sumber: www.byjus.com, 2011)

Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan ini melibatkan upaya perbanyakan gen tertentu dalam suatu sel yang bukan sel alaminya. Teknologi ini bertujuan untuk pembentukan kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul DNA ke dalam suatu vektor sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan mengalami perbanyakan dalam suatu sel organisme lain. Karakteristik genetik tertentu yang dimiliki oleh seekor ikan biasanya menyatu dengan sejumlah sifat bawaan yang mempengaruhi pertumbuhan, seperti: kemampuan ikan beradaptasi terhadap lingkungan, peningkatan laju pertumbuhan, efisiensi konversi pakan ikan, perbaikan nutrisi, toleransi lingkungan, dan ketahanan terhadap penyakit.

Teknologi transgenik dapat diaplikasikan untuk mendapatkan ikan yang berukuran lebih besar dengan pertumbuhan lebih cepat yang tahan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan. Teknologi ini juga bisa diaplikasikan untuk menghasilkan ikan hias berwarna-warni (pemberian gen fluorescent) yang dapat diturunkan pada generasi selanjutnya.

Pembentukan ikan transgenik melalui transfernDNA construct dapat dilakukan dengan beberapa metode, diantaranya:

a. Mikroinjeksi

Metode ini paling banyak digunakan karena memiliki keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Mikroinjeksi DNA dilakukan dengan menyuntikkan DNA secara manual dari satu organisme ke telur. Waktu yang terbaik untuk proses injeksi adalah sesaat setelah fertiisasi saat ovary masih diploid (2N). Hasil penelitian menggunakan prosedur ini menunjukkan pertumbuhan keturunan yang mencapai sekitar 4-6 kali lipat pada ikan salmon; dengan FCR (food conversion ratio) atau perbandingan antara pakan yang diberikan dengan daging yang dibentuk pada ikan transgenik mencapai 0.76 sedangkan pada ikan nontransgenik 1.02. Hal ini menunjukkan bahwa ikan transgenik mampu menghasilkan satu kilogram daging dengan kebutuhan pakan sebanyak 0.76 kg sedangkan ikan biasa memerlukan 1.02 kg. Hal ini menunjukkan ikan transgenik memiliki efisiensi pakan lebih tinggi daripada ikan non transgenik (Alimuddin, 2004).

b. Infeksi pada Virus (Retroviral infection)

Introduksi gen melalui virus sebagai mediator (vector). Pada metode ini, virus ditumpangi gen yang diinginkan dan diintroduksikan kedalam embrio ikan melalui virus sebagai vector pembawa. Virus memiliki ukuran yang sangat kecil dan mampu menembus inti sel. Satu sel diinfeksi dengan satu retrovirus akan menghasilkan DNA virus yang selanjutnya ditranskripsikan (penyalinan dan perbanyakan DNA/amplification) sehingga menjadi bagian genom induk. Contoh spesies yang menggunakan metode ini adalah ikan zebra (Brachydanio rerio).

Gambar 2. Prosedur perbanyakan sel pada inang
(Sumber: www.prompt.hu)


c. Sperma sebagai pembawa gen

Jika pada pembahasan sebelumnya vektor yang digunakan adalah virus, teknik ini menggunakan spermatozoa sebagai sarana seluler (vektor) untuk mentransfer DNA asing kedalam oosit sehingga terlibat langsung dalam proses fertilisasi. Matriks DNA diikat oleh komponen protein spesifik pada area post-acrosomal dan akan bergabung dengan genom induk setelah terjadi fertilisasi. Pengikatan gen oleh sperma optimal saat sperma dalam keadaan motil dan konsentrasi DNA cukup tinggi.


Gambar 3. Transfer gene dimediasi sperma
(Sumber: Louis-Marie, 2002)



d. Elektroporasi (Electroporation)

Pada metode ini, gamet atau embrio ditempatkan pada suatu cuvet dimana membran selnya memungkinkan menerima molekul DNA melalui paparan listrik sesaat. Ketika aliran listrik dimatikan dan membran sel kembali seperti semula, fragment-fragment DNA tersebut akan menetap dalam gamet atau embrio. Metode ini mudah dan cepat, sehingga memungkinkan untuk dilakukan pada ratusan oosit/telur ikan yang telah difertilisasi dalam satu kejutan listrik.



Keberhasilan penerapan teknologi transgenik bergantung pada transfer gen yang diekspresikan dan diwariskan dengan cara yang dapat diprediksi dan cenderung stabil. Ikan transgenik memberikan keuntungan pada pertumbuhan ikan. Hasil analisis berat badan ikan non transgenik dan transgenik pada ikan nila menunjukkan bahwa keturunan F2 (keturunan F2 adalah perkawinan antara jantan F1 dengan betina alam), ikan transgenik menghasilkan berat berkisar antara 60 – 90 gram/individu pada umur 5, 6, dan 7 bulan, sedang pada ikan non transgenik menghasikan berat berkisar antara 20 – 30 gram/individu, dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pada keturunan ke 2 (F2) sifat tumbuhnya masih dapat diturunkan, dan pertumbuhannnya sekitar 3 kali lipat dibandingkan dengan ikan kontrol (Sin et al, 2002). Penambahan gen dari ikan salmon dengan cara melipatgandakan jumlah gen yang bekerja dalam sintesa asam lemak HUFA meningkatkan kadar EPA dan DHA dalam tubuh ikan sebesar 1.4 dan 2.1 kali lipat daripada ikan biasa (Alimuddin et al, 2005). Selain itu, teknologi transgenik dapat menyediakan produksi rata-rata bagi pembudidaya untuk mendapatkan ikan yang berkualitas tinggi, rasa dan tekstur daging baik, komposisi mutu lengkap, warna yang menarik dan tahan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan.



Kesimpulan

Meskipun aplikasi rekayasa genetik pada ikan budidaya telah banyak diterapkan di Indonesia, namun manfaat yang diperoleh belum optimal karena belum tersedianya program besar yang terarah dan berkesinambungan untuk menghasilkan suatu produk yang memberikan manfaat terhadap budidaya secara langsung. Selanjutnya, diharapkan teknologi yang telah tersedia dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produktivitas pembudidaya di Indonesia. Penerapan teknologi yang akan digunakan sangat tergantung pada status terkini kualitas genetik komoditas yang akan diperbaiki dan permasalahan teknis yang dihadapi.



Referensi:
Alimuddin, Yoshizaki, G., Kiron, V., Satoh, S., & Takeuchi, T. 2004. Enhancement of EPA and DHA biosynthesis by over-expression of masu salmon D6-desaturaselike gene in zebrafish. Transgenic Res.
Alimuddin, -------------------------------------------------------------. 2005. Modification of fatty acids composition in zebrafish by expression of masu salmon D6-desaturase-like gene.

Breadmore, J.A., dan J. S. Porter. 2003. Genetically Modified Organisms and Aquaculture. FAO Fisheries Circular No. 989. Rome. 38p.

Kristanto, A.H., dan E. Kusrini. 2007. Peranan Faktor Lingkungan dalam Pemuliaan Ikan. Media Akuakultur. 2(1): 183-188

Kurniasih, T., dan R. Gustiano. Hibridisasi sebagai Alternatif untuk Penyediaan Ikan Unggul. Media Akuakultur. 2(1): 173-176.

Rosmaidar., C.N. Thasmi., A. Afrida., M. Akmal., Herrialfian., et al. 2016. Pengaruh Lama Perendaman Larva dalam Hormon Metil Testosteron Alami Terhadap Penjantanan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Jurnal Medika Veterinaria. 10(2): 125-127. Zairin, M.Jr. 2003. Endokrinologi dan Peranannya bagi Masa Depan Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah Fisiologi Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Institut Pertanian Bogor. 

Rekayasa Kromosom

Bagian terkecil dari tubuh makhluk hidup dinamakan sel. Pada suatu jenis makhluk, sel-sel tidak selalu sama bentuknya, misalkan sel hewan berbeda dengan sel tumbuhan, atau sel darah berbeda dengan sel otot.


Gambar 1. Struktur sel tumbuhan (kiri) dan sel hewan (kanan)

(Sumber: www.biologi-sel.com, 2004)


Rekayasa kromosom merupakan salah satu penerapan teknologi genetika dalam bidang akuakultur. Secara umum, struktur sel hewan dan sel tumbuhan terdiri atas dua bagian pokok, yaitu membran sel (dinding sel) dan protoplasma (isi sel) yang tersusun atas sitoplasma dan organel-organel yang jumlahnya cukup banyak. Namun jika diperinci lagi, perbedaan sel tumbuhan dan sel hewan berdasarkan komponen-komponen yang membangun akan lebih terlihat jelas; berikut Tabel 1 yang menunjukkan perbedaan antara sel tumbuhan dan sel hewan.

Sel Tumbuhan

Sel Hewan

Memiliki dinding sel dan membran sel

Hanya memiliki membran sel

Memiliki plastisida

Tidak memiliki plastisida

Bentuk tetap, karena dinding sel bersifat kaku

Bentuk tidak tetap karena membran sel elastis

Tidak memiliki sentrosom

Memiliki sentrosom

Jumlah mitokondria relatif sedikit karena fungsinya dibantu plastisida

Jumlah mitokondria lebih banyak

Vakuola sedikit tetapi berukuran besar

Vakuola berjumlah banyak dan berukuran kecil

 

Didalam inti sel (nukleus) terdapat kromosom, yaitu benda-benda halus berbentuk panjang atau pendek dengan bahan penyusun berupa kromatin (benang-benang halus berwarna). Kromosom adalah pembawa bahan keturunan, yang menunjukkan sifat-sifat genetik dari suatu makhluk hidup. Kromosom mengandung puluhan sampai ratusan ribu gen. Gen adalah unit bahan genetik, yaitu faktor penentu penurunan sifat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Gen terkandung didalam DNA. Penurunan sifat yang diwariskan dari suatu induk kepada keturunannya menjelaskan kedekatan genetik (adanya bagian DNA yang sama).

Gambar 2. Gen, DNA, dan kromosom dalam inti sel (nukleus)

(Sumber: www.socratic.org, 2011)

Jumlah kromosom yang dimiliki tiap spesies tertentu adalah tetap. Sebagai contoh, cacing Ascaris megalocephalus univalens merupakan makhluk yang mempunyai kromosom paling sedikit, yaitu hanya 2 kromosom dalam sel tubuh. Sedangkan ikan mas (Cyprinus carpio) memiliki 26 kromosom sel tubuh (Suryo, 1989 dalam Laimeheriwa, 2017).

Proses pembelahan sel secara meiosis menghasilkan sel-sel induk diploid (2N) dan sel yang bersifat haploid (N). Sel yang bersifat haploid inilah yang selanjutnya akan mewarisi karakter keturunannya saat disilangkan dengan sel haploid dari induk lain, sehingga kembali menghasilkan 2N. Artinya, kromosom ikan normal diploid (2N) merupakan hasil kontribusi dari 1N set kromosom betina dan 1N jantan.

Gambar 3. Meiosis Pada Ikan

(Sumber: www.socratic.org w/ modification, 2009)

Proses inilah yang dapat direkayasa untuk mendapatkan perbaikan mutu genetik dengan cara mengubah set kromosom. Individu normal 2N dapat dibuat dengan sumber dari betina (ginogenesis) atau jantan saja (androgenesis), serta jumlah kromosom dapat ditingkatkan menjadi poliploidi (3N atau 4N). Di Indonesia, penerapan teknologi rekayasa kromosom telah dimulai sejak tahun 1985 (Gustiano & Sumantadinata, 1987) dengan beberapa hasil-hasil yang telah diperoleh sebagai berikut.

 

1.1 Ginogenesis dan Androgenesis

Sebagaimana yang telah diketahui, seleksi telah dilakukan di Indonesia sebelum tahun 1985 untuk melakukan pemurnian pada sifat-sifat kualitatif dengan cara menyeleksi berdasarkan penampakan luar. Teknologi rekayasa kromosom bermanfaat untuk mempercepat pencapaian pemurnian hasil seleksi. Ikan ginogenesis didapatkan dari telur yang telah dibuahi oleh sperma yang telah dirusakkan intinya dengan radiasi ultra violet kemudian diberikan kejutan termal (panas atau dingin) pada tahap perkembangan embrio tertentu. Sedangkan androgenesis adalah kebalikannya, dimana sifat yang diturunkan hanya berasal dari induk jantan. Kedua teknik rekayasa kromosom tersebut sudah diterapkan pada banyak jenis ikan air tawar, akan tetapi yang banyak dilakukan di Indonesia adalah ginogenesis saja.

Jika dalam proses seleksi dan hibridisasi menggunakan perkawinan sekerabat (inbreeding) dapat memicu munculnya gen yang tidak diinginkan, metode ginogenesis dapat dilakukan untuk mengeliminasi problem tersebut untuk mendapatkan strain dengan tingkat kemurnian tinggi sehingga dapat digunakan kembali pada kegiatan hibridisasi. Keberhasilan ginogenesis contohnya ada pada berbagai sumber sperma pada telur ikan mas (Gustiano et al., 1990; Sumantadinata et al., 1990).

Hasil evaluasi terhadap benih-benih ginogenetik menunjukkan bahwa generasi kedua ginogenesisn menunjukkan penurunan keragaman karakter-karakter yang terukur, sehingga terjadi peningkatan homozigositas (lebih dominan, sehingga kemungkinan diturunkannya gen tersebut lebih tinggi). Ikan ginogenesis sangat penting terutama bagi ikan-ikan yang betinanya memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan ikan jantan, seperti pada famili Cyprinidae. Selain itu, ikan ginogenesis memiliki peran sangat penting dalam usaha perbaikan mutu genetik yaitu mampu memproduksi keturunan 100% homozigot atau klon.

 

1.2 Poliploidi

Secara teori, ikan poliploidi (3N, 4N, dan ploid yang lebih tinggi) akan tumbuh lebih cepat daripada ikan normal diploid. Individu triploid memiliki sifat steril (mandul) dan individu tetraploid bersifat fertil (dapat memijah). Tujuan manipulasi poliploidi adalah pemuliaan. Individu poliploidi (3N, 4N dan ploid yang lebih tinggi) berbeda dengan diploid (2N) dan haploid (N). Sebagai contoh, sel darah merah triploid dan tetraploid lebih besar dibandingkan sel darah diploid dan haploid. Ikan poliploid dapat tumbuh lebih pesat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan, serta dapat berperan mengontrol pertumbuhan organisme lain di lingkungan habitat yang sama (Kadi, 2007).

Gambar 4. Hasil perlakuan poliploida ikan mas. (a) Rata-rata laju penetasan ikan mas (diploid, triploid dan tetraploid); (b) Rata-rata kelangsungan hidup ikan mas (diploid, triploid dan tetraploid); (c) Kecepatan pertumbuhan relatif ikan mas (diploid, triploid dan tetraploid).

(Sumber: Mukti et al, 2001, dalam Kadi, 2007)

 

Ikan triploid (3N) diproduksi dengan memberikan kejutan panas atau dingin terhadap telur yang dibuahi oleh sperma ikan jantan normal pada tahapan meiosis sehingga ikan tersebut memiliki 2N kromosom dari betina dan 1N kromosom dari jantan. Sedangkan ikan tetraploid (4N) dapat diproduksi dengan cara yang sama namun pemberian kejutan dilakukan pada saat terjadi pembelahan sel pertama. Individu tetraploid akan dihasilkan dari 2N kromosom betina dan 2N kromosom jantan.


Referensi:

  • Sumantadinata, K., Taniguchi, N., & Sugama, K. 1990. The necessary conditions and the uses of ultra violet irradiated sperm from different species to induce Indonesian common carp. In the second Asian Fisheries Forum (Editors: K. Hirano and I. Hanyu). Asian Fisheries Society, Manila, Philippines. pp 539—547.
  • Laimeheriwa, B. M. Genetika dan Pemuliaan Ikan. Agrilan. Ambon
  • Gustiano, R. & Sumantadinata, K. 1987. Ginogenesis pada ikan mas dengan radiasi ultra violet dan kejutan dingin. Bulletin Penelitian Perikanan Darat. 6: 42—46
  • Gustiano, R, Hardjamulia, A., & Dharma, L. 1990. Penggunaan sperma ikan tawes dan nilem terhadap keberhasilan ginogenesis ikan mas. Bulletin Penelitian Perikanan Darat. 9: 68—71
  • Kadi, A. 2007. Manipulasi Poliploidi untuk Memperoleh Jenis Baru yang Unggul. Oseana. XXXII (4): 1-11.

Penerapan Teknologi Genetika dalam Bidang Akuakultur

Prospek budidaya ikan semakin luas karena ekspor ikan dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kebutuhan pasar untuk ikan untuk beberapa komoditas tertentu belum dapat terpenuhi secara optimal. Hal ini berhubungan dengan sulitnya proses pemijahan. Terjadinya penurunan mutu genetik ikan umumnya juga disebabkan adanya manajemen induk dan benih yang tidak terkontrol pada usaha perbenihan; sehingga perlu dilakukan perbaikan mutu genetik ikan untuk meningkatkan produktivitas suatu komoditas tanpa mengabaikan toleransi terhadap kondisi lingkungan dan peningkatan ketahanan terhadap penyakit. Secara tradisional, strategi perbaikan mutu genetik untuk mendapatkan bibit unggul dilakukan menggunakan teknik seleksi dan hibridisasi.

Seleksi dilakukan dengan memilih individu-individu maupun famili dengan performa terbaik untuk selanjutnya dipijahkan sehingga induk yang terseleksi mempunyai karakteristik yang lebih baik dari populasi sebelumnya. Sedangkan hibridisasi (persilangan) dilakukan dengan melakukan perkawinan silang dua spesies ikan yang dekat hubungannya (antar spesies dalam satu genus atau antar genus dalam satu famili) yang memiliki sifat dan ciri berbeda sehingga dapat dihasilkan keturunan dengan sifat dan ciri yang diinginkan. Dengan adanya program perbenihan yang terencana dengan matang seringkali teknik seleksi dan hibridisasi saling melengkapi untuk menemukan kombinasi induk yang menghasilkan keturunan yang unggul, pertumbuhan cepat dan kelangsungan hidup yang tinggi sehingga mampu menghasilkan keturunan indukan ikan yang lebih baik. Sebagai contoh, ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada lele lokal (Clarias bathracus) dan mudah untuk dibudidayakan. Lele dumbo dihasilkan dari induk lele betina Taiwan Clarias fuscus dan induk lele jantan Afrika Clarias mossambicus.

Pemilihan induk secara selektif untuk mendapatkan bibit unggul sudah lama diterapkan, yang merupakan tahap awal pelaksanaan program pemuliaan ikan dan dikembangkan lagi dalam teknik lanjutan menggunakan prinsip bioteknologi. Program pemilihan induk secara selektif dapat meningkatkan pertumbuhan ikan sebesar 5-20% per generasi pada jenis-jenis ikan mas, nila lele dan salmon.

Teknik hibridisasi antara ikan mas (Cyprinus carpio) betina dan pejantan tawes (Barbonymus goniatus) yang memiliki famili yang sama (Cyprinidae) menunjukkan pertumbuhan benih yang lebih baik dibandingkan ikan asalnya dan mampu tumbuh sebagaimana ikan normal lainnya (Gustiano & Dharma, 1994). Persilangan antara nila (Oreochromis niloticus) jantan dengan mujair (Oreochromis mossambicus) yang memiliki genus sama (Oreochromis) juga menghasilkan hibrida (generasi hasil persilangan) yang memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan hibrida ikan nila betina dan mujair jantan serta keturunan aslinya. Sumantadinata & Subardja (1979) melaporkan bahwa pada minggu ke-16, hibrida nila jantan x mujair betina telah mencapai bobot 70 gram; nila mencapai 50 gram; mujair mencapai 32 gram. Hasil yang diperoleh juga menunjukkan bahwa persentase keturunan jantan hasil hibrida lebih banyak (70%).

Seiring berjalannya waktu, keberadaan teknologi meningkat pesat sehingga rekayasa genetik dalam bidang akuakultur pun mulai berkembang. Kebutuhan pencapaian hasil seleksi atau hibridisasi yang lebih cepat mencetuskan upaya perbaikan mutu genetik secara modern.

Selasa, 10 Oktober 2017

Hypertrophication: The Good and The Bad Sides. Its Consequences to Global Warming

It is a well known that the excess amount of nutrients (especially because of algae) in the waters are known as hypertrophication/eutrophication. The water condition with unbalance nutrients caused algal blooming. In fact, the composition of nitrogen (N), phosphorus (P), and silicon (Si) should be 16:1:1. Therefore, the imbalance proportion of these substances lead to an alteration of plankton succession process. N and P are important elements to algae. On phosphorus cycle, the organic N compound from death plants and animals was decomposed by decomposer to be anorganic phosphorous; dilute inside soil water or sea water and settle on sediment. After being eroded, this material would be permeated by plants and phytoplanktons in oganophospate form. Nitrogen cycle is not much different. In this cycle, there is nitrogen fixation process from atmosphere to the land, settled on soil. Mineralization as well as nitrification-denitrification process are also occur.
If these natural mechanisms work in harmony with balance composition, there would not be any conflicting matters. However, since the 20th century, this equivalence nutrient composition in the water, especially marine environment, were transformed differently. The N and P contents were increased, waters became eutrophic due to phosphorus and nitrate total concentration were 35 to 100 µg/L. Fish and other biota in the ecosystem chains were lost resulted in water ecosystem balance distraction.
People assumed domestic wastes from land is the main reason of this incidents. Well, yes it is. Long term investigation on various lakes in the world delivered conclusion that phosphorus is the main element neeeded by primary nutrient producers (C, N and P) on hypertrophication process. Results showed that while C and N were added on the lake, the algal blooming was not occured. Nevertheless, in another lake, the addition of P in the water (phosphate and slight amound of nitrate) is able to induce blooming. So why this phosphate is abundant?
Generally, 10% of phosphate was originated from natural water process, 7% from industry, 11% from detergent, 17% from agricultural fertilizer, 23% from human wastes and 32% from husbandry wastes. Thus, all organisms on the land donate these phosphates. Higher population generated to higher phosphate thrown away in the water and marine environment, resulted in higher hypertrophication possibility.
The interesting point is hypertrophication create a significant impact in ocean and coastal environment. On nitrification-denitrification process, the decomposing step by Nitrococcus, Nitrosomonas and Nitrobacter bacteria occur aerobically resulted in oxygen depletion. Decomposing products will formed mineral mud and create silting in the water. Another consequences are water colour was greenish, smells not good (ammoniac stink outcome from aerobic decomposition) and water turbidity. The results are clear, ecosystem is destroyed and all organisms are dead.
Water hyacinth (Eichhornia crassipes) and harmful blue-green algae (Cyanobacteria) will invade aquatic environment. The latter contains specific toxin which able to bring serious poisoning to human and animal. The water quality becomes zero. On social-economic side, hypertrophication eliminates conservation worth, aesthetics, recreational and tourism, thus, require much funding to solve it.
The-phosphorus-cycle20160510-28982-4ca08w.jpg
Developed countries, such as USA and european countries, already had proposed hypertrophication as environmental agenda with creating a special committees to find the solution of environmental pollution. In principal, they are very restrictive to phosphate amount in the aquatic and marine environment. They also labeled phospate free or environmental friendly to daily home products and reduce phospate and nitrate compound by specific treatment series. In Chinese and Korea, they use active bacteria—algae eaters—to clean the pollution.
In the relation with global warming, hypertrophication is two sides of blade, connecting each other with positive and negative impact. Cyanobacteria has chemical protection such as toxic and bioactive substances which is able to attack grazers: zooplankton Daphnia spp and other competitors. Its tolerance to ultraviolet radiation (containing shironine, mycosporine-glycerine, poryphyra-334 and scytonemin) generates it to live in high illumination, tend to blooming on warm temperature. Of course, the existance of global warming lead to the increasing of hypertrophication. These resulted in algal growth period becoming longer.
The algal blooming is effecting its toxic blooming. In Pensacola Bay, the abundance of Cyanobacteria Synechoccus at estuarine water created a red tide and induced a massive death of zooplankton and other biota. In Canada and Alaska coastal area, Cyanobacterial blooming leaded to new diseases on human, Paralytic Shellfish Poisoning (PSP), resulted in gastrointestinal and neurologic disturbance because of consuming toxic shellfishes. The exacerberated situation was if carbon dioxide was absorbed too much, seawater will became more acid. Shellfishes are filter feeder organisms which live in photic abyssal zone. They need calcium carbonate (CaCO3) to create their shell. The acid environment will easily make them absorbed it to strengthen their shell and make them much more poisonous.
gnb.jpg
Scientist has found carbon absorption of algae is much more bigger than carbon absorption of tree. Algae was also found as the first plant in the world that could produce oxygen. Surprisingly, European scientists incorporated in EIFEX (European Iron Fertilization Experiment) was deliberately inserted iron substance (Fe) to combine with phosphorus so that the photosynthesis process will be bigger and algal blooming will be occured. When the Antarctic was left to its natural mechanism, algae grow reasonably. After Fe addition, the hypertrophication was happen and increased algal photosynthesis. During this step, carbon dioxide from the atmosfer was absorbed through the excess algae. Furthermore, when these algae died or being eaten, carbon will be settled in the base of ocean, brought greenhouse gases within, reduced the temperature, and cooling the world!
Like Cyanobacteria, on Arctic Ocean, the one-celled-algae phytoplankton are able to soak 45 billion ton of carbon dioxide every year and deliver half of oxygen supply in the world. The first phytoplankton blooming indicated 400 ppm carbon dioxide reduction in the air, reduce a slight global warming in the world. In fact, the old satellite imagery described 10 times lower in investigating this phenomena; suggesting that algal abundance below the ice layer of Arctic Ocean was even more. In 2010, NASA found 100 km of phytoplakton under the ice near Alaska. Beforehand, the scientists assumed that the ice was blocking sunlight, which is needed for plants to grow on. But currently, they hyphotized that ice coloumn was melting and the sunlight was concentrated like magnifying glass. The global warming causing phytoplankton bloom two times faster. Although algae (phytoplankton in it) are able to absorb carbon massively, they also have higher effects for migrating birds and whale or the other marine organisms if left longer.
The hypertrophication problem is a dilemma. Although the harmful algae is only 2% from all species, they abundance will disturb food chain equilibrium. Its so irony, without algae, people cannot live constantly. Algae is everywhere, not only in the marine or other water environment. All living creatures including human need a healthy oxygen produced by algae. Nevertheless, their blooming and global warming existance endanger all living organisms in the world. Therefore, this obstacle need a continuous action to finish the problem. Reduce human pollution, reduce inorganic wastes, buy environmental friendly products, cultivate several plants on every houses, reduce greenhouse, are adequate action to diminish the global warming and algal blooming. Lastly, hypertrophication phenomena, wherever it is, of any size, will deliver a great influence for natural ecosystem and human life. LET’S SAVE THE WORLD!!!

Selasa, 05 September 2017

Medaka, A Monitoring Agent of Marine Environmental Pollution


The book our stolen future brought world-wide attention to scientific discoveries about a facts that common contaminants can interfere with organism developments, especially endocrine disruption. At sea, toxic chemicals is one of the most dangerous disturbance to marine population. Do you still remember minamata tragedy? Aside from hundreds of human, all of fishes were also died and floated because of dramatic increase of mercury’s poison at Minamata Bay, 1956.
At this time, the scientist are monitoring water environment to control the toxic pollution at coastal marine environment. Physical and chemical parameters were measured, and medaka fish was also used to examine the pollution degree & its bioavailability.
Medaka (Oryzias sp.) are actinopterygii or ray-finned fish with the average body length were 3 cm. This genus comprises more than 14 species, with the java medaka (O. javanicus-Bleeker, 1854) is the most highly adaptable to different salinity (can live in fresh water, brackish water, as well as salt water) among other Oryzias species. On meristic experiments, the number of dorsal fin were 6-7, anal fin 20-25 and caudal fin were 5-6.  They eat artemia, insects, tubifex worms and protozoa.
map_of_Oryzias_javanicus
Java Medaka are widely distributed in Asia, especially in Indonesia, Malaysia and Thailand and live in well defined habitat. They have a unique osmotic adaptation mechanism (enhances the capacity of Na+ and Cl secretion in ionocytes and hypoosmoregulatory ability while exist in seawater).  They live long-enough with short generation time (2-3 months, make them possible to obtain five generations a year) and available at all periods of the year. Medaka are also highly adaptable fish and stable in laboratory aquaculture. These create medaka as important fishes to monitor the pollution threat in the ocean.
Woo et al (2014) suggest that there is transcriptional changes caused by Bisphenol A (BPA) in java medaka. 533 genes of seawater, 215 genes of freshwater and 78 shared genes were changed significally their expression, which mainly involved in cellular and signaling pathway. These finding were also revealed the alteration of salinity as one of environmental stressor can potentially affect the toxicity, since transcriptional changes was also regulated differently under environmental salinity.
In addition, the induction of metallothionein (MT) chemical substance on juvenile java medaka are statistically significant with positive correlation with the cadmium level (Cd) in their tissues. 
Another study of low level Cd exposure (0.01-0.10 ppm) resulted in several development impairments to java medaka egg. Nevertheless, this impairment was significantly observed to eggs on low levels mercury (Hg), 0.01-0.02 ppm. Lower concentration of Hg were found to cause teratogenesis on java medaka. Although java medaka eggs successfully hatched 375.7 to 78.6% when exposed on high concentration of Hg, this fish is more sensitive to Cd exposure within the same concentration (successful rate 0-52.5%) (Ismail and Yusof, 2011).
As biological effect monitoring, Estrogenic chemicals (EI) and 17β-estradiol (E2) are a natural steroid hormone, detected in sewage treatment works effluents and estuarine water. They were known to cause induction of vitellogenin, the appearance of testis-ova in male fish and lead to endocrine disruption. Fortunately, based on Imai et al (2007) research, at very low concentration, 39-198 ng/L, java medaka will not be affected to these chemicals.
We expect that such continuous experimental is needed to understand the genetic variation and modification of java medaka after toxicology exposure, especially on offspring impact. The application of  experimental techniques to this fish would bring us new information to understand how medaka has developed diverse mechanisms to adapt in diverse environments as well.

References:
Colborn T, Dumanoski D, Myers JP. 1996. Our stolen future: Recent important scientific studies. http://www.ourstolenfuture.org/. Accessed on October 2017.
Fishbase. Oryzias javanicus. http://www.fishbase.org/summary/12254. Accessed on October 2017.
Imai S, Koyama J, Fuji K. 2007. Effects of estrone on full life cycle of java medaka (Oryzias javanicus), a new marine test fish. Environ Toxicol Chem. 26 (4): 726-731.
Ismail A., Yusof S. 2011. Effect of mercury and cadmium on early life stages of Java medaka (Oryzias javanicus): A potential tropical test fish. Marine Poll Bull. 63: 347-349.
Khododaust D, Ahmad I. 2013. Metallothionein-like protein levels in java medaka fish (Oryzias javanicus) exposed to different concentration of cadmium. Walailak J Sci & Tech. 11(10): 883-893.
Kudo A, Fujikawa Y, Miyahara S, Zheng J, Takigami H, Sugahara M, Muramatsu T. 1998. Lessons from minamata mercury pollution, Japan—After a continuous 22 years of observation. Wat Sci Tech. 38(7): 187-193.
Miyanishi H, Inokuchi M, Nobata S, Kaneko T. 2016. Past seawater experience enhances seawater adaptability in medaka, Oryzias latipes. Zoological Lett. 2(12): 1-10.
Woo S, Denis V, Yum S. 2014. Transcriptional changes caused by bisphenol A in Oryzias javanicus, a fish species highly adaptable to environmental salinity. Mar drugs. 12: 983-998.
First picture: http://3.bp.blogspot.com/_58yBWvhQZ-g/Sid2jPsNWaI/AAAAAAAAAEA/E0Xz78PVIqI/s1600/oryzias%252520javanicus%252520m-5

Rabu, 12 Juli 2017

Sea Horses, A Trusty Unique Partner

Do you often hearing about a pair of pigeon, when flown separated, they were able to find their own partner? Well, this phenomenon is not only exist in the air, we also have this couple in the sea! Yup, its sea horses couple.

These marine creatures have scientific name Hippocampus sp. with family Syngnathidae, kind of fish with a very particular form. Their body size are variated, 16 mm to 35 cm. This species has around 54 species in the world. The head of each sea horse is triangle, resembles of a real horse, with a long snout, forming 90º degree from its own body. The tail is elongated, curled, sharp in the end, and used as a holder.
Sea horses are spread in tropical and subtropical area in the world, commonly live in shallow water with seagrass, coral reef, seaweed, and mangrove habitat. Their lifespan are commonly 1 to 5 years. Sea horses have excellent eyesight and work independently on each side. These marine creatures eat almost anytime. They even don’t have any teeth or stomach,  the food just passes through their body very quickly. They eat plankton and able to comsume 3000 artemia everyday.
Sea horses are monogamy, they will just mating with only one partner in their life. Male seahorses were highly active and preferred a larger female, suggested the importance of the body size for a successful reproduction. To impress their partner, both individual male and female sea horses change colours to brighten. Although sea horses are not able to bend their own tail backwards, each couple are comfortably swim together in pairs by holding tails. They move vertically and swim slower than a slug, this also because of their straight body.
Similar to kangaroo, sea horses own egg sac on tummy to nurturing their kids. However, this egg sac exist on male. The other lovely thing is, during reproduction season, they performed a special dance! They did spawning use their own tail as hand to reach each other with this exclusive dance. After that, the anal fin of female sea horse entered to the male egg sac to transfered hundreds eggs to be fertilized by male. Until hatching time, the larva still kept in there and taken out when considerably strong enough.
Every time, especially during reproduction time, each sea horses couple will meet to confirm their eggs are well until hatching time and become adult sea horses. They love to holding tails each other and loyal to their ‘only one’ partner until death comes apart. What a remarkable lesson!

Reference:
1. Mattle B & Wilson AB (2009). Body size preferences in the pot-bellied seahorse Hippocampus abdominalis: choosy males and indiscriminate females. Behavioral Ecology and Sociobiology.
2. Ministry of Fisheries and Marine Affairs Republic of Indonesia. Guide Book to Sea Horses.