Jumat, 22 Maret 2013

Eutrofikasi Perairan: Sisi Baik dan Buruk. Sebuah Kajian dalam Kaitannya dengan Pemanasan Global


Umum untuk diketahui bahwa membludaknya algae sebagai produktivitas primer di suatu perairan dikenal dengan istilah eutrofikasi. Kondisi perairan yang memiliki nutrien tertentu dalam jumlah besar dengan kadar tidak seimbang akan menyebabkan algae-algae tersebut tumbuh subur (blooming) di perairan.
Sebenarnya kandungan nitrogen (N), fosfor (P), dan  silikon (Si) harus berada dalam kondisi perbandingan 16:1:1, karenanya perubahan perbandingan akan mempengaruhi proses suksesi plankton. Nitrogen dan fosfor merupakan dua unsur yang sangat berpengaruh terhadap algae. Pada siklus fosfor, senyawa fosfat organik dari tumbuhan dan hewan yang mati akan diuraikan oleh pengurai menjadi fosfat anorganik untuk kemudian terlarut dalam air tanah atau air laut dan mengendap pada sedimen. Saat terkikis ia akan diserap oleh tanaman dan fitoplankton dalam bentuk organofosfat untuk proses metabolisme. Tidak berbeda jauh dengan siklus fosfat, dalam siklus nitrogen terjadi proses fiksasi nitrogen dari atmosfer ke dalam tanah, mineralisasi, nitrifikasi dan denitrifikasi yang juga dibutuhkan oleh algae untuk berkembang biak.
Ketika proses alamiah ini berjalan secara alami dengan komposisi yang sama maka hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun sejak abad ke-20, keseimbangan komposisi nutrien di perairan tadi menjadi berbeda, kandungan nitrogen dan fosfor meningkat. Kondisi air menjadi eutrofik dikarenakan konsentrasi total phosphorus dan nitrat dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/L, menyebabkan ikan dan biota lainnya dalam rantai ekosistem hilang sehingga keseimbangan ekosistem air terganggu.
Banyak orang beranggapan bahwa limbah domestik yang dibuang dari daratan merupakan penyebab dari kejadian ini. Memang benar adanya. Pada sebuah penelitian jangka panjang di berbagai danau di dunia menghasilkan suatu kesimpulan bahwa fosfor merupakan elemen kunci diantara nutrien utama yang dibutuhkan produsen [karbon (C), nitrogen (N), dan fosfot (P)] dalam proses eutrofikasi. Saat danau hanya ditambahkan karbon dan nitrogen, algal bloom tidak terjadi. Namun pada danau lainnya, penambahan fosfor di perairan (dalam bentuk senyawa fosfat dan nitrat) mampu menyebabkan blooming. Mengapa? Karena secara umum 10 persen fosfat berasal dari proses alamiah air, 7 persen dari industri, 11 persen dari detergen, 17 persen dari pupuk pertanian, 23 persen dari limbah manusia, dan 32 persen dari limbah peternakan. Sehingga manusia lah yang berperan besar menyumbang limbah ini. Semakin besar jumlah populasi, semakin banyak fosfat yang dibuang ke perairan, sehingga semakin tinggi kemungkinan terjadinya eutrofikasi.
Hal yang menarik ialah eutrofikasi memberikan dampak yang besar bagi perairan. Dalam proses nitrifikasi-denitrifikasi, penguraian oleh bakteri Nitrococcus, Nitrosomonas, dan Nitrobacter berlangsung secara aerob sehingga oksigen di perairan akan berkurang. Hasil uraian bahan sisa akan membentuk mineral lumpur yang bisa menyebabkan pendangkalan secara tidak langsung. Warna air yang menjadi kehijauan, berbau tidak sedap (karena terjadi penguraian aerob tadi sehingga terbentuk amoniak), serta kekeruhan di perairan yang meningkat. Akibatnya jelas, biota-biota perairan akan musnah karena syarat hidup mereka tidak layak sehingga mereka sulit untuk survive. Banyaknya eceng gondok bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau yang juga disebabkan kandungan fosfat-nitrat berlebih, belum lagi bahaya yang ditimbulkan algae biru-hijau (Cyanobacteria) yang diketahui mengandung toksin sehingga menbawa risiko kesehatan bagi manusia dan hewan. Kualitas air menjadi sangat menurun. Rendahnya konsentrasi oksigen terlarut (DO), bahkan sampai batas nol. Dari sisi sosial ekonomi, eutrofikasi menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional dan pariwisata sehingga dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mengatasinya.
Kasus red tide di Teluk Lampung akhir Desember lalu mengakibatkan pengusaha keramba jaring apung rugi hingga 5 miliar akibat melimpahnya sampah organik serta pakan intensif untuk budidaya. Tidak berbeda jauh, data statistik dari Waduk Cirata menunjukkan mulai tahun 2000 hasil produksi cenderung menurun, berbanding terbalik dengan jumlah keramba yang semakin banyak. Pada lokasi kedua ini ditanggulangi dengan cara penambahan aerasi berupa kincir air di beberapa titik dalam satu area waduk sehingga kandungan oksigen terlarut akan meningkat, meskipun tidak sampai ke dasar perairan.
Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa, telah menjadikan eutrofikasi sebagai agenda lingkungan hidup yang harus ditangani dengan serius dengan membentuk komite-komite khusus untuk mencari solusi permasalahan yang diakibatkan oleh hubungan antara manusia dengan lingkungan yaitu melakukan pengawasan ketat terhadap pencemaran lingkungan. Pada prinsipnya, mereka sangat membatasi jumlah fosfat yang ada di perairan dengan mencantumkan lebel “phosphate free” atau “environmental friendly” pada produk kebutuhan rumah sehari-hari. Juga mengurangi fosfat dan nitrat dengan serangkaian treatment tertentu.
Berbeda dengan Negara Cina dan Korea, mereka menggunakan bakteri-bakteri aktif pemakan algae untuk membersihkan pencemaran. Hal yang rencananya juga akan diadopsi oleh pemerintah DKI Jakarta untuk membersihkan Teluk Jakarta dari eutrofikasi.
Berhubungan dengan pemanasan global, persoalan eutrofikasi seperti dua mata pisau yang saling berhubungan, memiliki sisi negatif dan positif. Cyanobacteria memiliki perlindungan kimiawi berupa zat racun dan senyawa bioaktif yang mampu menyerang grazer, seperti zooplankton Daphnia spp serta kompetitor - kompetitornya. Toleransinya kepada radiasi ultraviolet (karena mengandung shinorine, mycosporine-glycine, poryphyra-334 dan scytonemin) menyebabkan jenis algae ini mampu hidup pada penerangan yang tinggi, cenderung tumbuh subur pada suhu hangat. Adanya pemanasan global menyebabkan eutrofikasi perairan semakin meningkat. Eutrofikasi, ditambah pemanasan global, menyebabkan periode pertumbuhan algae cenderung lebih lama.
Membludaknya algae di perairan otomatis berakibat pada membludaknya zat racun padanya. Pada perairan Teluk Pensacola, Kelimpahan Cyanobacteria Synechoccus pada perairan estuaria menyebabkan kematian massal pada zooplankton dan biota-biota lainnya. Di Canada dan Perairan Alaska, membludaknya Cyanobacteria menimbulkan penyakit baru yang dialami manusia, Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) karena mengkonsumsi kerang-kerangan beracun. Peresapan karbon dioksida yang terlalu banyak ke perairan menyebabkan laut menjadi lebih asam. Ditambah lagi zat racun algae yang ikut mengendap di perairan bersamanya. Kerang-kerangan yang hidup pada zona fotik abyssal, mereka membutuhkan kalsium karbonat (CaCO3) untuk membentuk cangkang. Karena hidup sebagai filter feeder, kerang dengan mudah menggunakan keduanya sehingga mereka menjadi sangat beracun. 
Para peneliti menemukan fakta bahwa penyerapan karbon oleh algae jauh lebih besar daripada penyerapan karbon oleh pohon. Algae biru-hijau ini merupakan tanaman pertama di bumi yang mampu menghasilkan oksigen. Menariknya, para peneliti di Eropa yang tergabung dalam EIFEX (European Iron Fertilization Experiment) justru memasukkan zat besi di perairan agar algae membludak. Saat perairan di wilayah Samudera Antartika dibiarkan, algae-algae tumbuh dengan wajar. Setelah penambahan zat besi, terjadi eutrofikasi karena nutrien ini akan bergabung dengan fosfor sehingga memperbesar proses fotosintesis algae. Selama proses fotosintesis ini, karbon dioksida dari atmosfer diabsorpsi melalui sel algae yang melimpah tadi, dan saat algae mati atau dimakan, karbon akan mengendap ke dasar lautan, membawa gas-gas rumah kaca bersamanya, menurunkan suhu, dan mendinginkan dunia.
Seperti Cyanobacteria, pada Samudera Arctic, algae bersel satu –fitoplankton—  mampu merendam 45 triliun ton karbon dioksida setiap tahun dan memberikan pasokan oksigen setengah dari bumi. Blooming pertama menyebabkan penurunan 400 ppm CO2 di udara, sedikit menurunkan pemanasan global di dunia. Fakta citra satelit lama 10 kali lipat lebih rendah dalam meneliti fenomena ini menyebabkan kelimpahan algae dibawah lapisan es Samudera Arktik menjadi jauh lebih banyak lagi. Tahun lalu NASA menemukan 100 km fitoplankton dibawah es dekat Alaska. Sebelumnya para ilmuwan mengira es memblokir sinar matahari yang dibutuhkan bagi tanaman untuk tumbuh, sekarang mereka berpikir kolom es mencair, sinar matahari terkonsentrasi seperti kaca pembesar. Pemanasan global menyebabkan algae mekar dua kali lebih cepat. Meskipun mampu menyerap karbon secara besar-besaran, namun memiliki efek yang besar pula bagi burung dan paus yang bermigrasi jika dibiarkan lebih lama.
Persoalan eutrofikasi merupakan hal yang serius untuk dibicarakan. Meskipun jenis algae yang membahayakan hanya 2% dari keseluruhan spesies, namun apabila spesies-spesies tidak berbahaya tadi terlalu melimpah maka akan mengganggu kesetimbangan rantai makanan. Solusi yang mampu ditawarkan disini adalah setiap negara memiliki suatu area khusus untuk memelihara algae, terutama fitoplankton. Mengapa? Karena jumlah pohon-pohon di bumi kita sudah berkurang drastis, ditambah lagi peranan pohon dalam mengurangi emisi karbon di udara tidak sebesar algae. Bagaimana jika fitoplankton-fitoplankton dibudidayakan dalam suatu sistem open ponds. Selain mampu menambah suplai oksigen di udara, dengan mengembangbiakkan spesies fitoplankton akan mampu menambah devisa negara karena mereka juga bisa digunakan dalam dunia farmasi, kosmetika, bidang pangan, bidang pertanian (sebagai fertilizer), dan bidang - bidang lainnya. Tentunya fitoplankton yang dibiakkan adalah spesies-spesies yang menguntungkan. Bila dibayangkan, jika dalam satu negara saja minimal mengembangkan 3 area budidaya plankton dalam skala besar, maka pengaruhnya bagi atmosfir akan sangat besar. Jika disimpulkan, seandainya eutrofikasi ini justru kita biakkan dalam suatu area dengan sistem tertentu, maka akan sangat bermanfaat dalam menurunkan kandungan karbon dioksida di udara. Tentu saja, perlu ada penelitian lebih lanjut mengenai solusi ini dalam mengurangi efek pemanasan global di dunia.
Sangat ironi, tanpa algae kita tidak akan tetap hidup disini. Manusia dan hewan membutuhkan oksigen yang diproduksi oleh algae. Walau bagaimanapun, sekarang, mereka mengancam kesehatan dan kehidupan manusia yang membutuhkan pasokan air bersih atau pendapatan dari perikanan dan pariwisata laut.
Oleh karenanya, persoalan eutrofikasi ini jangan hanya sekadar dijadikan wacana saja, akan tetapi perlu ada tindakan lebih lanjut. Pada akhirnya, fenomena eutrofikasi sebesar apapun dan dimanapun akan mempunyai dampak yang besar bagi kehidupan manusia dan ekosistem alam.