Umum untuk diketahui bahwa
membludaknya algae sebagai produktivitas primer di suatu perairan dikenal
dengan istilah eutrofikasi. Kondisi perairan yang memiliki nutrien tertentu dalam
jumlah besar dengan kadar tidak seimbang akan menyebabkan algae-algae tersebut
tumbuh subur (blooming) di perairan.
Sebenarnya kandungan nitrogen
(N), fosfor (P), dan silikon (Si) harus
berada dalam kondisi perbandingan 16:1:1, karenanya perubahan perbandingan akan
mempengaruhi proses suksesi plankton. Nitrogen dan fosfor merupakan dua unsur
yang sangat berpengaruh terhadap algae. Pada siklus fosfor, senyawa fosfat
organik dari tumbuhan dan hewan yang mati akan diuraikan oleh pengurai menjadi
fosfat anorganik untuk kemudian terlarut dalam air tanah atau air laut dan
mengendap pada sedimen. Saat terkikis ia akan diserap oleh tanaman dan
fitoplankton dalam bentuk organofosfat untuk proses metabolisme. Tidak berbeda
jauh dengan siklus fosfat, dalam siklus nitrogen terjadi proses fiksasi
nitrogen dari atmosfer ke dalam tanah, mineralisasi, nitrifikasi dan
denitrifikasi yang juga dibutuhkan oleh algae untuk berkembang biak.
Ketika proses alamiah ini
berjalan secara alami dengan komposisi yang sama maka hal ini tidak akan
menimbulkan masalah. Namun sejak abad ke-20, keseimbangan komposisi nutrien di
perairan tadi menjadi berbeda, kandungan nitrogen dan fosfor meningkat. Kondisi
air menjadi eutrofik dikarenakan konsentrasi total phosphorus dan nitrat dalam
air berada dalam rentang 35-100 µg/L,
menyebabkan ikan dan biota lainnya dalam rantai ekosistem hilang sehingga
keseimbangan ekosistem air terganggu.
Banyak
orang beranggapan bahwa limbah domestik yang dibuang dari daratan merupakan
penyebab dari kejadian ini. Memang benar adanya. Pada sebuah penelitian jangka
panjang di berbagai danau di dunia menghasilkan suatu kesimpulan bahwa fosfor
merupakan elemen kunci diantara nutrien utama yang dibutuhkan produsen [karbon
(C), nitrogen (N), dan fosfot (P)] dalam proses eutrofikasi. Saat danau hanya
ditambahkan karbon dan nitrogen, algal
bloom tidak terjadi. Namun pada danau lainnya, penambahan fosfor di
perairan (dalam bentuk senyawa fosfat dan nitrat) mampu menyebabkan blooming. Mengapa? Karena secara umum 10
persen fosfat berasal dari proses alamiah air, 7 persen dari industri, 11
persen dari detergen, 17 persen dari pupuk pertanian, 23 persen dari limbah
manusia, dan 32 persen dari limbah peternakan. Sehingga manusia lah yang
berperan besar menyumbang limbah ini. Semakin besar jumlah populasi, semakin
banyak fosfat yang dibuang ke perairan, sehingga semakin tinggi kemungkinan
terjadinya eutrofikasi.
Hal
yang menarik ialah eutrofikasi memberikan dampak yang besar bagi perairan. Dalam
proses nitrifikasi-denitrifikasi, penguraian oleh bakteri Nitrococcus, Nitrosomonas, dan Nitrobacter
berlangsung secara aerob sehingga oksigen di perairan akan berkurang. Hasil
uraian bahan sisa akan membentuk mineral lumpur yang bisa menyebabkan pendangkalan
secara tidak langsung. Warna air yang menjadi kehijauan, berbau tidak sedap
(karena terjadi penguraian aerob tadi sehingga terbentuk amoniak), serta
kekeruhan di perairan yang meningkat. Akibatnya jelas, biota-biota perairan
akan musnah karena syarat hidup mereka tidak layak sehingga mereka sulit untuk survive. Banyaknya eceng gondok
bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau yang juga disebabkan kandungan fosfat-nitrat
berlebih, belum lagi bahaya yang ditimbulkan algae biru-hijau (Cyanobacteria)
yang diketahui mengandung toksin sehingga menbawa risiko kesehatan bagi manusia
dan hewan. Kualitas air menjadi sangat menurun. Rendahnya konsentrasi oksigen
terlarut (DO), bahkan sampai batas nol. Dari sisi sosial ekonomi, eutrofikasi
menyebabkan hilangnya nilai konservasi, estetika, rekreasional dan pariwisata
sehingga dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mengatasinya.
Kasus red tide di Teluk Lampung akhir Desember lalu mengakibatkan
pengusaha keramba jaring apung rugi hingga 5 miliar akibat melimpahnya sampah
organik serta pakan intensif untuk budidaya. Tidak berbeda jauh, data statistik
dari Waduk Cirata menunjukkan mulai tahun 2000 hasil produksi cenderung
menurun, berbanding terbalik dengan jumlah keramba yang semakin banyak. Pada
lokasi kedua ini ditanggulangi dengan cara penambahan aerasi berupa kincir air
di beberapa titik dalam satu area waduk sehingga kandungan oksigen terlarut
akan meningkat, meskipun tidak sampai ke dasar perairan.
Negara-negara maju, seperti
Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa, telah menjadikan eutrofikasi sebagai
agenda lingkungan hidup yang harus ditangani dengan serius dengan membentuk
komite-komite khusus untuk mencari solusi permasalahan yang diakibatkan oleh
hubungan antara manusia dengan lingkungan yaitu melakukan pengawasan ketat
terhadap pencemaran lingkungan. Pada prinsipnya, mereka sangat membatasi jumlah
fosfat yang ada di perairan dengan mencantumkan lebel “phosphate free” atau “environmental
friendly” pada produk kebutuhan rumah sehari-hari. Juga mengurangi fosfat
dan nitrat dengan serangkaian treatment
tertentu.
Berbeda dengan Negara Cina
dan Korea, mereka menggunakan bakteri-bakteri aktif pemakan algae untuk membersihkan
pencemaran. Hal yang rencananya juga akan diadopsi oleh pemerintah DKI Jakarta
untuk membersihkan Teluk Jakarta dari eutrofikasi.
Berhubungan dengan pemanasan
global, persoalan eutrofikasi seperti dua mata pisau yang saling berhubungan,
memiliki sisi negatif dan positif. Cyanobacteria memiliki perlindungan kimiawi
berupa zat racun dan senyawa bioaktif yang mampu menyerang grazer, seperti zooplankton Daphnia
spp serta kompetitor - kompetitornya. Toleransinya kepada radiasi
ultraviolet (karena mengandung shinorine, mycosporine-glycine, poryphyra-334
dan scytonemin) menyebabkan jenis algae ini mampu hidup pada penerangan yang
tinggi, cenderung tumbuh subur pada suhu hangat. Adanya pemanasan global
menyebabkan eutrofikasi perairan semakin meningkat. Eutrofikasi, ditambah
pemanasan global, menyebabkan periode pertumbuhan algae cenderung lebih lama.
Membludaknya algae di
perairan otomatis berakibat pada membludaknya zat racun padanya. Pada perairan
Teluk Pensacola, Kelimpahan Cyanobacteria Synechoccus
pada perairan estuaria menyebabkan kematian massal pada zooplankton dan
biota-biota lainnya. Di Canada dan Perairan Alaska, membludaknya Cyanobacteria
menimbulkan penyakit baru yang dialami manusia, Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) karena mengkonsumsi
kerang-kerangan beracun. Peresapan karbon dioksida yang terlalu banyak ke
perairan menyebabkan laut menjadi lebih asam. Ditambah lagi zat racun algae
yang ikut mengendap di perairan bersamanya. Kerang-kerangan yang hidup pada
zona fotik abyssal, mereka membutuhkan kalsium karbonat (CaCO3) untuk membentuk
cangkang. Karena hidup sebagai filter feeder, kerang dengan mudah menggunakan
keduanya sehingga mereka menjadi sangat beracun.
Para peneliti menemukan
fakta bahwa penyerapan karbon oleh algae jauh lebih besar daripada penyerapan
karbon oleh pohon. Algae biru-hijau ini merupakan tanaman pertama di bumi yang
mampu menghasilkan oksigen. Menariknya, para peneliti di Eropa yang tergabung
dalam EIFEX (European Iron Fertilization
Experiment) justru memasukkan zat besi di perairan agar algae membludak.
Saat perairan di wilayah Samudera Antartika dibiarkan, algae-algae tumbuh
dengan wajar. Setelah penambahan zat besi, terjadi eutrofikasi karena nutrien
ini akan bergabung dengan fosfor sehingga memperbesar proses fotosintesis
algae. Selama proses fotosintesis ini, karbon dioksida dari atmosfer diabsorpsi
melalui sel algae yang melimpah tadi, dan saat algae mati atau dimakan, karbon
akan mengendap ke dasar lautan, membawa gas-gas rumah kaca bersamanya,
menurunkan suhu, dan mendinginkan dunia.
Seperti Cyanobacteria, pada
Samudera Arctic, algae bersel satu –fitoplankton— mampu merendam 45 triliun ton karbon dioksida
setiap tahun dan memberikan pasokan oksigen setengah dari bumi. Blooming pertama menyebabkan penurunan
400 ppm CO2 di udara, sedikit menurunkan pemanasan global di dunia. Fakta
citra satelit lama 10 kali lipat lebih rendah dalam meneliti fenomena ini
menyebabkan kelimpahan algae dibawah lapisan es Samudera Arktik menjadi jauh
lebih banyak lagi. Tahun lalu NASA menemukan 100 km fitoplankton dibawah es
dekat Alaska. Sebelumnya para ilmuwan mengira es memblokir sinar matahari yang
dibutuhkan bagi tanaman untuk tumbuh, sekarang mereka berpikir kolom es
mencair, sinar matahari terkonsentrasi seperti kaca pembesar. Pemanasan global
menyebabkan algae mekar dua kali lebih cepat. Meskipun mampu menyerap karbon
secara besar-besaran, namun memiliki efek yang besar pula bagi burung dan paus
yang bermigrasi jika dibiarkan lebih lama.
Persoalan eutrofikasi merupakan
hal yang serius untuk dibicarakan. Meskipun jenis algae yang membahayakan hanya
2% dari keseluruhan spesies, namun apabila spesies-spesies tidak berbahaya tadi
terlalu melimpah maka akan mengganggu kesetimbangan rantai makanan. Solusi yang
mampu ditawarkan disini adalah setiap negara memiliki suatu area khusus untuk memelihara
algae, terutama fitoplankton. Mengapa? Karena jumlah pohon-pohon di bumi kita
sudah berkurang drastis, ditambah lagi peranan pohon dalam mengurangi emisi
karbon di udara tidak sebesar algae. Bagaimana jika fitoplankton-fitoplankton
dibudidayakan dalam suatu sistem open
ponds. Selain mampu menambah suplai oksigen di udara, dengan
mengembangbiakkan spesies fitoplankton akan mampu menambah devisa negara karena
mereka juga bisa digunakan dalam dunia farmasi, kosmetika, bidang pangan,
bidang pertanian (sebagai fertilizer), dan bidang - bidang lainnya. Tentunya
fitoplankton yang dibiakkan adalah spesies-spesies yang menguntungkan. Bila
dibayangkan, jika dalam satu negara saja minimal mengembangkan 3 area budidaya
plankton dalam skala besar, maka pengaruhnya bagi atmosfir akan sangat besar. Jika
disimpulkan, seandainya eutrofikasi ini justru kita biakkan dalam suatu area
dengan sistem tertentu, maka akan sangat bermanfaat dalam menurunkan kandungan
karbon dioksida di udara. Tentu saja, perlu ada penelitian lebih lanjut
mengenai solusi ini dalam mengurangi efek pemanasan global di dunia.
Sangat ironi, tanpa algae
kita tidak akan tetap hidup disini. Manusia dan hewan membutuhkan oksigen yang
diproduksi oleh algae. Walau bagaimanapun, sekarang, mereka mengancam kesehatan
dan kehidupan manusia yang membutuhkan pasokan air bersih atau pendapatan dari
perikanan dan pariwisata laut.
Oleh karenanya, persoalan
eutrofikasi ini jangan hanya sekadar dijadikan wacana saja, akan tetapi perlu ada
tindakan lebih lanjut. Pada akhirnya, fenomena eutrofikasi sebesar apapun dan
dimanapun akan mempunyai dampak yang besar bagi kehidupan manusia dan ekosistem
alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar