Minggu, 15 Mei 2011

Ekosistem Mangrove

Bab I
Pendahuluan


1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas. Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. (Rochana, 2010)
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Dikatakan unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut. Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjo yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. (Wetlands,2001)
Ekosistem mangrove yang tumbuh di sepanjang garis pantai atau di pinggiran sungai dipengaruhi oleh pasang surut perpaduan antara air sungai dan air laut. Kawasan pantai dan ekosistem mangrove menjadi sasaran kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat dan keuntungan ekonomis yang diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Sebaliknya makin sedikit manfaat dan keuntungan ekonomis, makin ringan pula kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Dampak-dampak lingkungan tersebut dapat diidentifikasi dengan adanya degradasi kawasan pantai dan semakin berkurangnya luas ekosistem mangrove. (Waryono, 2008)

1.2 Rumusan Masalah
- Apakah deskripsi dari mangrove?
- Bagaimanakah lingkungan fisik dan zonasi mangrove?
- Apa saja jenis-jenis mangrove itu?
- Bagaimana fungsi dan manfaat mangrove bagi ekosistem disekitarnya?
- Bagaimana kondisi ekosistem mangrove saat ini?
- Bagaimana cara menjaga ekosistem mangrove?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
- Mengetahui apa yang dimaksud dengan ekosistem mangrove.
- Menganalisis pentingnya mangrove bagi keseimbangan alam, terutama laut.

1.4 Manfaat Penulisan
Pemahaman akan kondisi lingkungan dan karakter biota yang ada pada ekosistem mangrove dapat dijadikan sebagai acuan dalam upaya konservasi dan eksplorasi ekosistem mangrove.


Bab II
Pengertian Mangrove


2.1 Deskripsi Mangrove
Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi manggurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove, Namun ada pula yang mengatakan bahwa kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove (belukar), yakni belukar yang tumbuh di tepi laut. Kata ini dapat ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau komunitas. (Setyawan, 2008)
Tumbuhan yang hidup di ekosistem mangrove adalah tumbuhan yang bersifat halophyte, atau mempunyai toleransi yang tinggi terhadap tingkat keasinan (salinity) air laut dan pada umumnya bersifat alkalin. Hutan mangrove di Indonesia sering juga disebut hutan bakau. Tetapi istilah ini sebenarnya kurang tepat karena bakau (rhizophora) adalah salah satu family tumbuhan yang sering ditemukan dalam ekosistem hutan mangrove. (Goldfriend, 2007)
Tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan berpembuluh, dapat menggunakan air garam sebagai sumber air, dengan adaptasi daun keras, tebal, mengkilat, sukulen, serta memiliki jaringan penyimpan air dan garam. Tumbuhan mangrove memiliki mekanisme untuk mencegah masuknya sebagian besar garam ke dalam jaringan dan dapat mengekskresi atau menyimpan kelebihan garam. Biji dapat mengapung terbawa arus ke area yang luas dan dapat berkecambah saat masih di pohon induk (vivipar), serta tumbuh dengan cepat setelah jatuh dari pohon. Akar memiliki struktur tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen pada saat surut dan mencegah kelebihan air pada saat pasang, sehingga dapat tumbuh pada tanah anaerob (Setyawan, 2008)

2.2 Distribusi Mangrove dan Faktor Lingkungan Fisik

Tumbuhan mangrove diperkirakan berasal dari Indo-Malaysia, kawasan pusat biodiversitas mangrove dunia. Spesies ini terbawa arus laut ke seluruh pantai daerah tropis dan subtropis dunia, pada garis lintang 25oLU dan 25o LS, karena propagulnya dapat mengapung. Dari kawasan Indo-Malaysia, mangrove tersebar ke barat hingga India dan Afrika Timur, serta ke timur hingga Amerika dan Afrika Barat. Penyebaran mangrove dari pantai barat Amerika ke laut Karibia, terjadi pada jaman Cretaceous atas dan Miocene bawah, antara 66-23 juta tahun yang lalu, melewati selat yang kini menjadi tanah genting negara Panama. Penyebaran ke timur diikuti penyebaran ke utara hingga Jepang dan ke selatan hingga Selandia Baru. Sehingga sebagai perkecualian, mangrove ditemukan di Selandia Baru (38oLS) dan Jepang (32oLU). Cara dispersal propagul di atas menyebabkan mangrove di Amerika dan Afrika Barat (Atlantik) memiliki luas dan keragaman lebih rendah, karena harus melewati Samudera Pasifik, sedangkan mangrove di Asia, India, dan Afrika Timur memiliki keragaman lebih tinggi. Sehingga mangrove di dunia terbagi menjadi dua kawasan utama, yaitu Indo-Pasifik Barat yang meliputi Asia, India dan Afrika Timur, serta Amerika - Afrika Barat (Gambar 1.). Mangrove dari kawasan Indo-Pasifik Barat sangat terkenal dan beragam, terdiri lebih dari 40 spesies, sedangkan di Atlantik hanya sekitar 12 spesies.
Ekosistem mangrove di Indonesia umumnya terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil, sebagian besar terletak di Irian (Papua). Mangrove di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Irian sudah terpengaruh kegiatan pembangunan, sedangkan di Maluku dan Nusa Tenggara relatif masih alami. Di Indonesia mangrove tumbuh pada berbagai substrat seperti lumpur, pasir, terumbu karang dan kadang-kadang pada batuan, namun paling baik tumbuh di pantai berlumpur yang terlindung dari gelombang dan mendapat masukan air sungai. Tumbuhan mangrove di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dapat mencapai tinggi 50 m dengan diameter 50 cm, meski umumnya hanya setinggi 25 m dengan diameter 18 cm. Keragaman spesies pada setiap lokasi berbeda-beda, di seluruh Indonesia jumlah tumbuhan mangrove sekitar 47 spesies. Informasi lain menyatakan jumlahnya lebih dari 37 spesies atau 45 spesies. Spesies utama berasal dari genera Avicennia, Rhizophora, Sonneratia,Bruguiera, Ceriops, Excoecaria, Heritiera, Lumnitzera,Nypa, Xylocarpus, dan Aegiceras. (Setyawan, 2008)
Menurut Wikipedia (2011), jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut adalah:
1. Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya; bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut. Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
2. Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih tenang. Yang agak serupa adalah bagian-bagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.
3. Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya; bahkan kadang-kadang terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua kali dalam sebulan.

2.3 Adaptasi Flora Mangrove
Menurut Risnandar (2010), Secara sederhana, tipe adaptasi flora mangrove terhadap habitatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu adaptasi terhadap konsentrasi kadar garam, adaptasi terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang serta adaptasi reproduktif.
Adaptasi flora mangrove terhadap kadar garam antara lain sebagai berikut :
1. Sekresi garam (salt extrusion/salt secretion). Flora mangrove menyerap air dengan kadar garam tinggi kemudian mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini biasanya dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis, Acanthus, Laguncularia dan Rhizopora (melalui unsur-unsur gabus pada daun)
2. Mencegah masuknya garam (salt exclusion). Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam melalui saringan / ultra filter yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizopora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegialitis dan Acrostichum
3. Akumulasi garam (salt accumulation). Flora mangrove sering menyimpan natrium dan khlorida pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang sudah tua. Daun penyimpan garam umumnya sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan mekanisme pengeluaran kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme ini dilakukan oleh Excoecaria, Lumnitzera, Avicennia, Osbornia, Rhizopora, Sonneratia dan Xylocarpus.
Adaptasi flora mangrove terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang antara lain sebagai berikut :
1. Akar pensil (pneumathophores). Akar berbentuk seperti tonggak/pensil yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang secara vertikal ke udara, misalnya pada Avicennia dan Sonneratia
2. Akar lutut (knee root). Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh ke arah permukaan kemudian melengkung menuju substrat lagi, misalnya pada Bruguiera
3. Akar tunjang (stilt root). Akar tunjang merupakan akar yang keluar dari batang pohon dan menancap ke dalam substrat, misalnya pada Rhizopora dan Ceriops
4. Akar papan (buttres root). Akar ini mirip dengan banir, melebar menjadi bentuk lempeng, misalnya pada Heritiera
5. Akar gantung (aerial root). Akar gantung merupakan akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat, misalnya pada Rhizopora, Avicennia dan Acanthus.
Adaptasi flora mangrove terhadap mekanisme reproduksi antara lain sebagai berikut :
1. Pembungaan dan polinasi. Polen yang berukuran kecil dan tidak bertangkai memungkinkan polinasi dengan bantuan angin, serangga dan burung. Polen bertangkai polinasi dibantu dengan serangga tertentu. Bunga Sonneratia mekar pada malam hari sehingga polinasi dibantu oleh serangga yang aktif di malam hari
2. Produksi propagul. Kebanyakan mangrove di daerah sub-tropis menghasilkan propagul masak pada musim panas. Sedang pada daerah tropis mangrove berbunga dan berbuah umumnya pada awal musim kemarau
3. Vivipari dan kriptovivipari. Vivipari adalah biji sudah berkecambah ketika masih diatas pohon dan embrio telah keluar dari pericarp, misalnya pada Rhizopora, Bruguiera, Ceriops dan Kandelia. Sedangkan Kriptovivipari adalah biji sudah berkecambah ketika masih diatas pohon (embrio berkembang di dalam buah) tetapi tidak cukup kuat menembus pericarp
4. Penyebaran propagul dan pembentukannya. Propagul pohon-pohon mangrove biasanya memiliki kemampuan mengapung sehingga dapat beradaptasi dengan penyebaran oleh air. Misal pada Rhizopora, selama proses vivipari buah memanjang dan distribusi beratnya berubah sehingga menjadi lebih berat pada bagian ujung bawah serta akhirnya terlepas. Kemudian propagul ini mengapung di air (atau langsung menancap di substrat ketika air surut), tumbuh dimulai dari akar yang muncul dari ujung propagul dan bertahap akan menjadi individu baru.

2.4 Zonasi Mangrove
Menurut Rochana (2010), Penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Dizona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Pada hutan mangrove alami dapat terbentuk zonasi spesies tunggal sejajar dengan garis pantai dan tepian sungai, mulai dari tepi pantai ke arah daratan. Beting lumpur yang luas atau beting pasir yang dangkal di tepi laut ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia. Rhizophora ditemukan lebih ke dalam pada tepian sungai, adapun Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus dan Heritiera membentuk bagian belakang mangrove. Pada lingkungan yang cocok, dimana terdapat pasir dan lempung, Nypa fruticans dapat menjadi tumbuhan utama pada tepi sungai atau laguna. Penyebab zonasi ini masih diperdebatkan dan kemungkinan disebabkan kombinasi berbagai faktor seperti salinitas, kondisi tanah, tingkat genangan, ukuran dan ketersediaan propagul, serta kompetisi antar spesies. Tumbuhan mangrove memiliki tanggapan yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut, sehingga tumbuh tersebar dalam zonasi yang karakteristik. Beberapa spesies mangrove tumbuh di garis pantai, tepian pulau, teluk yang terlindung, atau jauh ke pedalaman hulu sungai yang masih dipengaruhi pasang surut. Pada sebagian besar hutan mangrove yang sudah dipengaruhi kegiatan manusia (antropogenik), zonasi sulit ditentukan akibat tingginya sedimentasi dan perubahan habitat. Dalam hal ini ketersediaan propagul diduga lebih berpengaruh dari pada faktor lain, dimana beting lumpur baru akan didominasi tumbuhan yang propagulnya paling banyak sampai di tempat tersebut, misalnya di Segara Anakan. (Setyawan, 2008)

2.5 Perkembangbiakan Mangrove
Adaptasi lain yang penting diperlihatkan dalam hal perkembang biakan jenis. Lingkungan yang keras di hutan bakau hampir tidak memungkinkan jenis biji-bijian berkecambah dengan normal di atas lumpurnya. Selain kondisi kimiawinya yang ekstrem, kondisi fisik berupa lumpur dan pasang-surut air laut membuat biji sukar mempertahankan daya hidupnya. Hampir semua jenis flora hutan bakau memiliki biji atau buah yang dapat mengapung, sehingga dapat tersebar dengan mengikuti arus air. Selain itu, banyak dari jenis-jenis mangrove yang bersifat vivipar: yakni biji atau benihnya telah berkecambah sebelum buahnya gugur dari pohon.
Contoh yang paling dikenal barangkali adalah perkecambahan buah-buah bakau (Rhizophora), tengar (Ceriops) atau kendeka (Bruguiera). Buah pohon-pohon ini telah berkecambah dan mengeluarkan akar panjang serupa tombak manakala masih bergantung pada tangkainya. Ketika rontok dan jatuh, buah-buah ini dapat langsung menancap di lumpur di tempat jatuhnya, atau terbawa air pasang, tersangkut dan tumbuh pada bagian lain dari hutan. Kemungkinan lain, terbawa arus laut dan melancong ke tempat-tempat jauh. Buah nipah (Nypa fruticans) telah muncul pucuknya sementara masih melekat di tandannya. Sementara buah api-api, kaboa (Aegiceras), jeruju (Acanthus) dan beberapa lainnya telah pula berkecambah di pohon, meski tak nampak dari sebelah luarnya. Keistimewaan-keistimewaan ini tak pelak lagi meningkatkan keberhasilan hidup dari anak-anak semai pohon-pohon itu. Anak semai semacam ini disebut dengan istilah propagul. Propagul-propagul seperti ini dapat terbawa oleh arus dan ombak laut hingga berkilometer-kilometer jauhnya, bahkan mungkin menyeberangi laut atau selat bersama kumpulan sampah-sampah laut lainnya. Propagul dapat ‘tidur’ (dormant) berhari-hari bahkan berbulan, selama perjalanan sampai tiba di lokasi yang cocok. Jika akan tumbuh menetap, beberapa jenis propagul dapat mengubah perbandingan bobot bagian-bagian tubuhnya, sehingga bagian akar mulai tenggelam dan propagul mengambang vertikal di air. Ini memudahkannya untuk tersangkut dan menancap di dasar air dangkal yang berlumpur.
(Wikipedia, 2011)

2.6 Fungsi dan Manfaat Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. (Saputra, 2010)
Menurut Irwanto (2008), Hutan Mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai organisme baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak. Hutan Mangorove dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem Mangorove juga sebagai plasma nutfah (geneticpool) dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat Mangorove merupakan tempat mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan tersebut dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai ikan-ikan kecil serta kerang (shellfish) dari predator. Beberapa manfaat hutan mangrove dapat dikelompokan sebagai berikut:
A. Manfaat / Fungsi Fisik :
1. Menjaga agar garis pantai tetap stabil
2. Melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi.
3. Menahan badai/angin kencang dari laut
4. Menahan hasil proses penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan terbentuknya lahan baru.
5. Menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar
6. Mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2.
B. Manfaat / Fungsi Biologik :
1. Menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi plankton, sehingga penting pula bagi keberlanjutan rantai makanan.
2. Tempat memijah dan berkembang biaknya ikan-ikan, kerang, kepiting dan udang.
3. Tempat berlindung, bersarang dan berkembang.biak dari burung dan satwa lain.
4. Sumber plasma nutfah & sumber genetik.
5. Merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota.
C. Manfaat / Fungsi Ekonomik :
1. Penghasil kayu : bakar, arang, bahan bangunan.
2. Penghasil bahan baku industri : pulp, tanin, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, kosmetik, dll
3. Penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng melalui pola tambak silvofishery
4. Tempat wisata, penelitian & pendidikan.


Bab III
Mangrove dan Ekosistem

3.1 Diversitas Flora Mangrove
Menurut Setyawan (2008) yang mengutip Tomlinson (1986), flora mangrove terbagi menjadi 3 elemen, yaitu elemen mangrove mayor, elemen mangrove minor dan elemen mangrove asosiasi. Tomlinson mengklasifikasi ketiga macam elemen flora mangrove ini sebagai berikut : 9 genus dan 34 jenis untuk elemen mangrove mayor, 11 genus dan 20 jenis untuk elemen mangrove minor serta 46 genus dan 60 jenis untuk elemen mangrove asosiasi.
Flora elemen mangrove mayor pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Hanya hidup pada daerah mangrove, secara alami hanya terdapat pada ekosistem mangrove dan tidak ditemukan di komunitas teresterial/darat
2. Memiliki peran utama dalam struktur komunitas vegetasi mangrove dan memiliki kemampuan untuk membentuk tegakan murni (pure stand)
3. Membentuk morfologi khusus untuk beradaptasi dengan lingkungannya, misalnya dengan adanya akar napas (aerial root), berasosiasi dengan pertukaran gas, vivipari dan kriptovivipari embrio
4. Mekanisme fisiologis untuk pengeluaran garam sehingga beberapa jenis vegetasi mangrove dapat tumbuh pada tempat dengan kadar garam rendah sampai tinggi
5. Isolasi taksonomi dari kelompok teresterial, mangrove sejati terpisahkan dari kelompoknya paling sedikit pada tingkat genus dan terkadang pada tingkatan sub-famili atau famili.
Contoh dari elemen mayor adalah Avicennia marina (api-api), Sonneratia alba (pidada, prapat), Rhizopora mucronata (bakau), Ceriops tagal (mentingi), Bruguiera gymnorrhyza (lindur) dan Nypa frutican (nipah). Elemen flora mangrove minor biasanya tidak membentuk elemen vegetasi yang mencolok, tetapi hanya dijumpai di tepian habitat tersebut dan hampir tidak pernah membentuk suatu tegakan murni. Contoh dari elemen minor adalah Pemphis acidula (centigi), Aegiceras corniculatum, Excoecaria agalocha (buta-buta) dan Xylocarpus granatum (nyirih).
Sedangkan elemen flora mangrove asosiasi pada umumnya tidak memiliki ciri morfologi yang biasanya dimiliki oleh elemen mayor dan elemen minor (tidak memiliki akar napas, tipe buah dan biji yang normal, tidak memiliki mekanisme untuk pengeluaran garam) dan sering kali hanya dijumpai pada tepi mangrove lebih dekat ke daratan. Contoh dari elemen asosiasi adalah Terminalia catapa (ketapang), Thespesia populnea, Barringtonia asiatica dan Cerberra manghas (bintaro).
Sedangkan Giesen ( - ) menyebutkan bahwa vegetasi mangrove di Indonesia mencapai 202 jenis, yang terdiri dari 89 spesies pohon, 5 spesies palem, 19 jenis liana, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas.
Berdasarkan peran vegetasi terhadap habitat mangrove, Chapman dalam Kusmana (2003) membagi flora mangrove menjadi dua kategori, yaitu :
1. Flora Mangrove Inti, yaitu flora mangrove yang memiliki peran ekologi utama dalam formasi mangrove. Contohnya adalah genus Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus, Derris, Acanthus, Lumnitzera, Schypipora dan Dolichandrone
2. Flora Mangrove Peripheral (pinggiran), yaitu flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi mangrove, tetapi flora tersebut juga berperan penting dalam formasi hutan lain. Contohnya adalah Excoecaria agalocha, Acrostichum aureum, Cerbera manghas, Heritiera litoralis dan Hibiscus tilliaceus.
Vegetasi mangrove di dunia dapat dijumpai pada sepanjang pantai tropis sampai sub tropis dengan kondisi lingkungan yang sesuai (pada pantai terlindung, bebas dari ombak besar, teluk, laguna, estuarin). Sedangkan penyebarannya dapat dijumpai dari 32° LU sampai dengan 38° LS. Menurut Chapman dalam Kusmana (2003), berdasarkan keragaman penyebaran vegetasi di dunia, vegetasi mangrove dibagi menjadi dua yaitu :
1. The Old World Mangrove, penyebarannya meliputi Afrika Timur, Laut Merah, India, Asia Tenggara, Jepang, Filipina, Australia, New Zealand, Kepulauan Pasifik dan Samoa (disebut juga dengan Grup Timur)
2. The New World Mangrove, penyebarannya meliputi pantai Atlantik dari Afrika dan Amerika, Meksiko, pantai Pasifik Amerika dan Kepulauan Galapagos (disebut juga dengan Grup Barat). Keragaman jenis Grup Barat relatif lebih sedikit dibanding dengan keragaman di Grup Barat. (Risnandar, 2010)
Indonesia memiliki sebanyak tidak kurang dari 89 jenis pohon mangrove, atau paling tidak menurut FAO terdapat sebanyak 37 jenis. Dari berbagai jenis mangrove tersebut, yang hidup di daerah pasang surut, tahan air garam dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili. (Irwanto, 2008)
Menurut Saputra (2010), jenis-jenis pohon mangrove tersebut diantaranya:
1. Aegiceras corniculantum
2. Rhizopora lamarckii
3. Avicennia officinalis
4. Aegiceras floridum
5. Heritirea littoralis
6. Bruguiera gymnorrhiza
7. Bruguiera cylindrica
8. Avicennia alba
9. Avicennia marina
10. Avicennia lanata
11. Bruguiera cylindrica
12. Rhizopora apiculata
13. Pemphis acidula
14. Xylocarpus moluccensis
15. Rhizopora stylosa
16. Lumnitzera racemosa
17. Xylocarpus rumphii
18. Avicennia officinalis
19. Ceriops tagal
20. lLumnitzera littorea
21. Bruguiera sexangula
22. Sonneratia caseolaris
23. Ceriops decandra
24. Sonneratia alba
25. Lumnitzera racemosa
26. Rhizopora mucronata
27. Bruguiera parviflora
28. Excoecaria agallocha
29. Xylocarpus granatum
30. Nypa fruticans
31. Osbornia octodona

3.2 Fauna Mangrove
Menurut Setyawan (2008), ekosistem mangrove merupakan bentuk pertemuan lingkungan darat dan laut, sehingga hewan dari kedua lingkungan ini dapat ditemukan di ekosistem mangrove. Sebagian kecil hewan menggunakan mangrove sebagai satu-satunya habitat, sebagian dapat berpindah-pindah meskipun lebih sering ditemukan di hutan mangrove, sedang lainnya berpindah-pindah berdasarkan musim, tahapan siklus hidup, atau pasang surut laut. Kebanyakan orang menganggap mangrove sebagai tempat berlumpur dan rawa-rawa becek, yang penuh dengan nyamuk, ular, laba-laba, dan memberi rasa tidak nyaman. Namun apabila diperhatikan lebih teliti berjalan-jalan di kawasan mangrove merupakan perburuan besar. Di bawah kerimbunan hutan terdapat berbagai jenis arthropoda, moluska, burung, ikan, reptilia, mamalia dan lain-lain, sehingga menarik untuk ditelusuri.
Beberapa bakteri lignolitik, sellulolitik, proteolitik dan mikroorganisme lain dapat menguraikan molekul organik yang besar seperti tanin dan selulosa menjadi fragmengragmen lebih kecil yang bermanfaat. Alga tingkat tinggi biasa ditemukan menempel pada tumbuhan mangrove, khususnya di akar penyangga dan akar napas (pneumatofora) lainnya. Mikrobia, bakteri, fungi, dan alga hijau-biru (Cyanobacteria) merupakan elemen tanah mangrove yang penting. Invertebrata yang ditemukan di hutan mangrove umumnya adalah artropoda yang meliputi serangga, Chelicera dan Crustacea, serta moluska baik gastropoda maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah terbatas ditemukan pula reptilia dan mamalia. Amfibia sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove. Insekta merupakan taksa yang sangat banyak ditemukan di hutan mangrove, berupa berbagai jenis ngengat, kutu (bug), kumbang, lalat, semut dan jengkerik. Bersama dengan Crustacea dan Chelicera, serangga merupakan Arthropoda yang banyak ditemukan di mangrove.
Crustasea seperti remis, udang dan kepiting sangat melimpah di hutan mangrove. Salah satu yang terkenal adalah kepiting lumpur (Thalassina anomala) yang dapat membentuk gundukan tanah besar di mulut liangnya, serta kepiting biola (Uca spp.) yang salah satu capitnya sangat besar. Terdapat sekitar 60 spesies kepiting di hutan mangrove. Kebanyakan memakan dedaunan, lainnya memakan alga atau detritus di sedimen tanah dan membuang sisanya dalam gumpalan-gumpalan pelet. Moluska, beserta Arthropoda, merupakan inverterbrata paling banyak dijumpai di hutan mangrove, baik Gastropoda maupun Bivalvia. Chelicera yang dapat dijumpai di hutan mangrove antara lain laba-laba, kutu (mite), dan kepiting ladam. Laba-laba paling banyak dijumpai.
Hutan mangrove merupakan tempat aman bagi berbagai jenis burung dan ikan untuk mencari makan, bersarang dan tinggal. Kebanyakan ikan yang hidup di mangrove juga ditemukan di laut sekitar pantai. Ikan ini tinggal di hutan mangrove pada waktu atau tahap tertentu, misalnya pada saat muda dan musim kawin. Terdapat pula jenis ikan tawar yang dapat hidup di area mangrove. Ketersediaan makanan dan perlindungan merupakan faktor penting yang menyebabkan ikan bermigrasi keluar masuk lingkungan ini. Ikan gelodok (Periophthalmodonidae; Gobiidae) merupakan salah satu dari sedikit hewan yang habitatnya terbatas di area mangrove. Mereka membentuk lubang dalam tanah dandapat berenang seperti ikan dengan menggunakan sirip pektoral, akan tetapi juga dapat memanjat pohon atau melewati tanah dengan sirip tersebut. Terdapat beberapa jenis ikan gelodok.
Beberapa spesies burung pada musim tertentu membutuhkan mangrove untuk mencari makanan dan perlindungan. Burung pemakan madu dan loriket mengunjungi mangrove pada musim berbunga. Burung lain seperti merpati imperial juga tinggal di mangrove selama musim kawin. Mangrove merupakan habitat penting bagi migrasi tahunan dan dapat menjadi tempat berlindung pada musim kemarau atau apabila hutan di dekatnya ditebangi. Burung air yang sering mengunjungi mangrove antara lain: jabiru, bangau, heron, sedangkan robin, kutilang, burung madu, dan raja udang merupakan burung daratan yang secara tetap menggunakan ekosistem mangrove.
Katak jarang dijumpai di kawasan mengrove. Airnya yang asin barangkali kurang cocok dengan kondisi kulit katak yang relatif tipis. Jenis katak yang kadang-kadang dapat ditemukan di kawasan mangrove adalah Rana cancrivora. Untuk reptilia, buaya muara (Crocodilus porosus) merupakan hewan mangrove paling buas. Mereka tidak selalu bersarang di mangrove, tertapi dapat bersarang pada vegetasi di sekitar mangrove atau pada sungai-sungai kecil yang terhubung ke pantai. Pada saat pasang reptil ini menuju mangrove untuk mencari makan. Buaya muda memakan kepiting, udang, ikan gelodok dan ikan kecil lainnya, ketika dewasa mereka juga memakan burung dan mamalia. Ular laut dan ular darat kadang-kadang ditemukan sebagai pengunjung mangrove. Ular piton merupakan pengunjung paling sering dijumpai di mangrove. Di kawasan mangrove sendiri terdapat beberapa jenis ular yang menggunakan mangrove sebagai habitat primernya. Kadal dan biawak yang memakan insekta, ikan, kepiting dan kadang-kadang burung juga menggunakan mangrove sebagai habitat utama. Mamalia seperti kelelawar buah (kalong) sering membentuk koloni besar di hutan mangrove dan bergelantungan di siang hari. Mamalia lain yang dapat dijumpai di tempat ini antara lain barang-barang, bajing, anjing, tikus, kera, demikian pula babi dan kerbau air.


Bab IV
Strategi Konservasi Ekosistem Mangrove

4.1 Kondisi Ekosistem Mangrove Saat Ini
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya (Tabel 1). Dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove, menyebabkan luasan hutan mangrove turun cukup menghawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia turun dari 5,21 juta hektar antara tahun 1982 – 1987, menjadi 3,24 hektar, dan makin menyusut menjadi 2,5 juta hektar pada tahun 1993 Bergantung cara pengukurannya, memang angka-angka di atas tidak sama antar peneliti. Khazali (1999), menyebut angka 3,5 juta hektar, sedangkan Lawrence (1998), menyebut kisaran antara 3,24 – 3,73 juta hektar. (Rochana, 2011)

4.2 Kebijakan Hutan Indonesia
Menurut Dephut (-) Departemen Kehutanan sebagai departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan hutan, maka landasan dan prinsip dasar yang dibuat harus berdasarkan peraturan yang berlaku, landasan keilmuan yang relevan, dan konvensi-konvensi internasional terkait dimana Indonesia turut meratifikasinya. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pengelolaan Hutan Lestari
b. Desentralisasi Kewenangan Pengelolaan
c. Konservasi dan Rehabilitasi Secara Partisipatif
d. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove
Strategi yang diterapkan Departemen Kehutanan untuk menuju kelestarian pengelolaan hutan mangrove: (1) Sosialisasi fungsi hutan mangrove, (2) Rehabilitasi dan konservasi, (3) Penggalangan dana dari berbagai sumber.

4.3 Langkah-Langkah Konservasi
Menurut Waryono (2008), Hilangnya ekosistem mangrove karena dikonversikan untuk penggunaan lain sudah pasti akan berpengaruh negatif terhadap keanekaragaman hayati di daerah tersebut Untuk menghindari hal tersebut yang perlu dilakukan adalah :
(a) Mengupayakan luasan kawasan konservasi mangrove 20 % dengan dasar pertimbangan terhadap rasionalisasi penggunaan terbesar dari pemanfaatan lahan mangrove diperuntukan pertanian, pertambakan, dan permukiman.
(b) Keberadaan dan kondisi mangrove yang sebenarnya perlu diketahui, sebagai dasar untuk perencanaan dan penetapan kebijakan selanjutnya.
(c) Perlu ditingkatkan pengetahuan tentang peraturan-peraturan.
(d) Pengkajian tentang peralihan mangrove menjadi pertambakan atau penggunaan lain harus didasarkan pada :
1. Kesesuaian lahan untuk tambak (masalah tanah sulfat masam, gambut, pasir) atau penggunaan lain.
2. Pasang surut dan sumber air tawar.
3. Pensyaratan jalur hijau.
4. Sistem perlindungan kawasan dan kawasan ekosistem lindung.
5. Dampak terhadap lingkungan.
6. Infrastruktur seperti pasar, ketersedian bibit dan lain-lain.
7. Pengenaan pajak untuk areal tambak, agar keinginan membuat tambak berkurang.
8. Penetapan beberapa areal mangrove sebagai kawasan lindung.


Bab V
Penutup


5.1 Kesimpulan
1. Mangrove merupakan salah satu tipe hutan dengan karakter yang spesifik dan memiliki beberapa fungsi, antara fungsi fisik, biologis dan ekonomis dimana ketiganya harus bisa berfungsi secara integral dan tidak tersegmentasi.
2. Perencanaan pembangunan nasional, utamanya di wilayah pesisir yang memiliki ekosistem mangrove, harus bisa menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan di satu sisi dan upaya penyelamatan kelestarian lingkungan mangrove di sisi yang lain.


Daftar Pustaka
Dephut. Kebijakan Hutan Mangrove di Indonesia. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm. Diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 12.23 WIB.
Goldfriend. 2007. Selamatkan Mangrove. http://fertobhades.wordpress.com/2007/10/09/selamatkan-mangrove/. Diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 12.45 WIB.
Irwanto. 2008. Hutan Mangrove dan Manfaatnya. http://www.freewebs.com/irwantomangrove/mangrove_kelola.pdf. Diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 12.20 WIB.
Risnandar. 2010. Mengenal Ekosistem Mangrove. http://www.baligreen.org/mengenal-ekosistem-mangrove.html. Diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 12.51 WIB.
Rochana, Erna. 2011. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. http://irwantoshut.com.Diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 12.11 WIB.
Saputra, Dion Ragil. 2010. Jenis-Jenis Mangrove, Manfaat serta Pengaplikasian terhadap Lingkungan. http://www.docstoc.com/?doc_id=21006699&download=1. Diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 12.37 WIB.
Setyawan, Ahmad Dwi. 2008. Buku Ajar Biodiversitas Ekosistem Mangrove di Jawa; Tinjauan Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah. http://www.scribd.com/doc/16413879/Biodiversitas-Ekosistem-Mangrove-di-Jawa-Tinjauan-Pesisir-Utara-dan-Selatan-Jawa-Tengah. Diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 12.00 WIB.
Waryono, Tarsoen. 2008. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Ekosistem Mangrove. http://www.docstoc.com/?doc_id=21928048&download=1. Diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 12.05 WIB.
Wetlands. 2001. Hutan Mangrove. http://www.lablink.or.id/Eko/Wetland/lhbs-mangrove.htm. Diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 12.17 WIB.
Wikipedia. 2011. Hutan Bakau. http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_bakau. Diakses pada tanggal 6 Mei 2011 pukul 12.07 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar